Tragedi Geger Santet Banyuwangi 1998

Tragedi Santet Banyuwangi, adalah salah satu momen kelam dalam sejarah Indonesia. Kejadian ini mungkin akan mengingatkan kepada masa lalu Eropa dimana ketakutan kepada para penyihir membuat mereka menyiksa dan membantai para wanita terduga penyihir.


Hal inipun pernah terjadi di Indonesia, tepatnya di Banyuwangi, Jawa Timur.

Santet, adalah salah satu praktik yang berhubungan dengan hal magis. Biasanya konotasinya selalu ke arah negatif yang merugikan, semisal mencelakakan orang, membuat seseorang jatuh cinta, atau menjatuhkan usaha orang lain.

Bagi masyarakat Banyuwangi kala itu, santet adalah suatu hal yang lumrah ada di tengah masyarakat.

Menurut mereka, santet pun tidak selalu bermakna negatif karena adanya istilah "santet putih". salah satunya bertujuan menyembuhkan penyakit. Walaupun kalau kita boleh jujur, keduanya tidak dibenarkan dalam agama islam.

Namun makna santet putih ini seakan terlupakan. Orang orang Banyuwangi mulai berpendapat bahwa dukun dukun yang mampu melakukan praktik santet adalah orang orang yang berbahaya dan harus ditangani.

Entah darimana isu ini bermula, namun Banyuwangi seketika "geger" dengan kabar kabar negatif seputar bahayanya dukun dan praktik praktik keji yang mereka lakukan. Lalu munculah semacam gerakan yang dibentuk oleh sejumlah penduduk untuk menyisir terduga pelaku santet alias dukun.

Mereka akan mendatangi sejumlah rumah terduga dukun santet, memberinya tanda, biasanya berupa susunan batu atau tanda X. Kemudian tak lama, beberapa hari setelahnya terduga dukun itu telah ditemukan tewas. Kejadian ini lebih dikenal dengan "Geger Santet pertama".


Jumlah korban bisa dikatakan sedikit karena memang sulit untuk mengetahui keberadaan dukun dan sebagainya kecuali telah nampak praktik atau ada orang yang pernah memakai jasanya lantas mengakuinya.

Geger Santet pertama ini terjadi di bulan Februari 1998. Dan bisa diredam dengan cepat oleh petugas dibawah komando langsung dari Presiden Soeharto kala itu. 

Masyarakat diminta tenang, tidak panik dan tidak main hakim sendiri. Namun, sebagaimana namanya, itu adalah "Pertama". Yang kedua? Jauh lebih buruk lagi.

Setelah konflik dan kepanikan mereda, muncul inisatif dari Bupati Banyuwangi kala itu Purnomo Sidik. Demi menghindari munculnya konflik serupa dalam waktu dekat.

pada tanggal 14 Oktober 1998 ia kemudian memerintahkan semua camat di daerahnya untuk  mendata orang orang yang mampu atau memiliki kekuatan magis.

Tujuannya? Agar ketika konflik serupa meletus nantinya, orang orang pada data tersebut bisa diselamatkan terlebih dahulu dan dievakuasi sehingga tidak "kecolongan" seperti Geger Santet pertama.

Karena tujuannya dinilai baik dan menjanjikan keamanan bagi orang orang yang masih memiliki ilmu tersebut, maka banyak dari para dukun mendata dirinya, baik berupa nama dan alamat kepada petugas dan data tersebut diserahkan kepada sang Bupati.


Namun sayang, data yang tadinya merupakan data "penyelamatan" berubah menjadi "list data nama calon target pembantaian". Sungguh miris, entah siapa yang membocorkan, tapi data radiogram itu akhirnya jatuh ke tangan sekelompok orang yang nantinya menjadi "algojo" dari Geger Santet Kedua.

Data lengkap sudah ditangan. Data ini valid karena beberapa adalah data dari pengakuan sang dukun kepada petugas camat masing masing daerah kala itu. Bak memegang sebuah peta yang sangat jelas, orang orang akan sangat mudah mendapati dan menyergap para dukun.

Lalu munculah sekelompok orang yang tidak diketahui asalnya. Merekalah yang memegang data tersebut dan melakukan pembantaian terhadap orang orang yang namanya ada di data radiogram tersebut. Kelompok ini digelari masyarakat dengan "Gerakan Anti Tenung" atau biasa disingkat "Gantung"

Tidak seperti Geger Santet Pertama, Geger Santet kedua jauh lebih masif dan cepat. Hal ini didasar oleh setidaknya 2 penyebab.

1. Pemerintahan sedang melemah, jika dahulu Soeharto dengan kebijakan dan kecepatan tindakannya dapat menahan warga, di Oktober 1998 Orde Baru telah runtuh dan pemerintahan pusat sedang dalam masa recovery

2. Data yang bocor memudahkan bagi para Gantung untuk melancarkan aksinya. Mereka tidak perlu mencari lagi siapa dan dimana. Mereka punya data nama dan alamat dukun tersebut.

Jangan bayangkan orang orang Gantung jumlahnya sedikit dan diam diam dalam melaksanakan "tugas"nya, tidak!!
Jumlahnya banyak dan bahkan dalam satu kali pembantaian, anggota Gantung datang dengan menaiki truk.

Apakah ada langkah masyarakat awam untuk mencegah? Sayangnya tidak. Masyarakat menganggap Gantung adalah bagian dari operasi pemerintah sehingga mereka mendukung gerakan tersebut. Bentuk "dukungannya" adalah dengan menunjukkan lokasi tepat rumah terduga Dukun kepada Gantung.

Dalam waktu beberapa hari saja, banyak nyawa melayang. Beberapa dukun dibunuh dengan sangat keji. Ada yg dikuliti, ada yg dimutilasi, ada yg dipisahkan antara kepala dengan badannya.

Maksudnya, kepalanya dibawa dan ditaruh ke tempat yang jauh. Karena dipercaya jika kedua anggota tubuh itu didekatkan, sang dukun bisa bangkit kembali. Gantung sepertinya masih memiliki kekhawatiran akan kemampuan magis dari para sasaran mereka/ si dukun.


Diawal, pemerintah pusat saat itu cenderung "diam". Dengan hal ini diamnya pemerintahan pusat dibaca sebagian orang sebagai bentuk "dukungan" bagi gerakan Gantung sebagai gerakan yang sah.

Era Orba ada banyak gerakan gerakan / operasi tersembunyi yang memang ditugaskan oleh pusat ke daerah daerah. Masyarakat mengira Gantung adalah salah satunya. Akhirnya, Pembunuhan makin menyebar. Hampir setiap hari ditemukan mayat baru yang diduga dukun. Utuh atau hanya sebagian tubuhnya saja.

Hingga akhirnya pemerintah mendengar desas desus bahwa Gantung diduga adalah bagian dari operasi pemerintah. Hal ini lantas secara tegas dibantah dengan mengatakan bahwa Gerakan Anti Tenung bukanlah perpanjangan tangan pemerintah dan tidak pernah disahkan pemerintah. Akibat pernyataan ini, masyarakat mulai mundur dan menjauhi gerakan tersebut.

Baca Juga:

Akibat tidak adanya bantuan dari warga lagi dan gerakannya sudah makin menyempit, Gantung tidak lagi dapat melakukan aksinya sebagaimana sebelumnya. Tensi sudah mulai sedikit mereda saat itu hingga tiba tiba muncul sosok baru yang menjadi deretan pembantai di tragedi ini. Yaitu "NINJA".

Sangat minim informasi mengenai siapa sosok Ninja ini. Jumlahnya pun tidak hanya 1, tapi sekumpulan orang yang umumnya melakukan aksinya di malam hari walaupun ada beberapa kasus mengatakan mereka juga muncul di siang hari.

Penamaan "Ninja" sendiri didasari oleh sebagian saksi mata yang mengatakan bahwa mereka mengenakan baju serba hitam/gelap dengan penutup wajah bak ninja. Ada pula yang mengatakan bahwa gerakan mereka gesit, dapat berpindah dalam waktu cepat diantara atap atap rumah warga.



Berbeda dengan Gantung yang gerakannya terlihat dan terkadang berinteraksi dengan warga. Ninja hadir secara sembunyi sembunyi bahkan tidak terlihat. Dan yang lebih parah, Ninja lebih kejam dan menakutkan terornya dibanding Gantung.

Jika awalnya sasarannya hanyalah orang orang dalam data radiogram yang terduga santet, Ninja justru mengincar para tokoh tokoh agama yang diluar dari data dukun sebelumnya.

Kengerian akan serangan ninja dapat dirasakan dari beberapa saksi mata kejadian. Menurut beberapa sumber, ketika ninja akan melakukan aksinya maka lampu di desa tersebut akan mati. Dan bisa kalian bayangkan, itu terjadi di malam hari di tahun 98.

Ketika lampu mati, orang orang sudah menebaknya sebagai tanda serangan. Mereka akan segera menyiapkan senjata, berdiri di tiap tiap pintu, dan berdiri mengelilingi melindungi guru ngaji atau tokoh agama setempat.

Di dalam gelap gulita itu, kemudian akan terdengar suara langkah di atap. Suara langkah bolak balik seperti mengitari rumah/pondok. Lalu tiba tiba langkah itu sudah sampai ke depan pintu bahkan ke dalam ruangan.

Sangat sulit melihat dalam keadaan gelap gulita seperti itu dan ketika lampu menyala, sudah ada orang dalam ruangan itu yang tergeletak bersimbah darah. Dan sasarannya kebanyakan adalah para ustadz dan kiyai di Banyuwangi, yang umumnya berasal dari NU.

Muncul ketakutan yang cukup menggegerkan masyarakat banyuwangi kala itu. Pondok pesantren melakukan pengamanan ganda pada daerah pondoknya. Para santri melakukan jaga malam dan melindungi para kiyainya. Kala itu, satu suara di atap rumah saja sudah sangat menakutkan.

Salah satu tanda serangan ninja selain malam eksekusi berupa pemadaman lampu adalah keberadaan simbol simbol / tanda di tiap rumah target. Biasanya ketika label atau tanda ini ditemukan, maka segera tanda itu dihapus dan pengamanan terhadap rumah itu diperketat.

Banyak orang yang juga melakukan cara lain untuk menghindari ninja, diantaranya dengan melepas nomor rumah / label rumah mereka sehingga sulit diidentifikasi oleh Ninja.

Sedikit saja suara sudah cukup membuat mata terbelalak dan pasang badan. Warga memilih untuk bertahan dengan tidur secara berkelompok. Beberapa diantaranya tidur di pekarangan rumah mereka.

ketakutan akan ninja benar benar menjadi pikiran yang terngiang ngiang di kepala penduduk kala itu. Hal ini juga membuat orang orang menjadi sangat sensitif terhadap aktivitas seseorang yang mencurigakan di malam-dini hari. Sekarang musuh bagi warga ada 2, Dukun dan Ninja.

Mirisnya, beberapa tokoh agama yg tidak tinggal di pesantren seperti guru ngaji kampung, muadzin mesjid dll ikut menjadi korban dalam hal ini. Beberapa harus meregang nyawa karena keparnoan sebagian orang.

Salah satu contohnya adalah orang yang keluar ke sungai di tengah malam karena saat itu kamar mandi belum ada di setiap rumah, atau hendak mengambil wudhu. Orang orang (entah itu ninja atau Gantung atau bahkan warga biasa) kemudian menyerang dan menghabisinya.

Ninja sebenarnya tak hanya muncul di Banyuwangi tapi juga ke beberapa daerah di sekitar. Ketakutan pada ninja juga membuat masyarakat jadi anarkis. Sejarah mencatat di Malang pada 24 Oktober 1998 penduduk Kecamatan Gondanglegi membantai lima orang asing yang dicurigai sebagai ninja.

Bahkan seorang di antaranya dibakar hidup-hidup. Dan ini hanya "dicurigai" tanpa ada alasan jelas.


Melihat maraknya aksi pembunuhan oleh ninja ini, muncul desakan dari ulama Jawa Timur kepada pemerintah pusat. Mereka juga menuntut pemerintah mengusut dan menindak tegas sesuai hukum para auktor intelektualis dan semua pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa berdarah ini.

Karena ada beberapa indikasi bahwa Ninja adalah orang orang terlatih, bahkan kabar yang merebak, mereka menggunakan handie talkie saat melancarkan aksi mereka.

Tak lama setelah desakan itu, pemerintah mulai bergerak menurunkan tim dan terjun ke Banyuwangi. Banyak orang yang sebelumnya secara jelas terlibat melakukan pembunuhan terhadap dukun ditangkap dan diadili, diantara mereka adalah Gantung.

Selanjutnya tim tersebut menangkap para terduga Ninja. Namun kejadian aneh terjadi disini. Setiap penangkapan terduga ninja dilakukan, target tersebut ternyata adalah orang gila. Dan masyarakat menyadari wilayah Banyuwangi saat itu "kedatangan" para orang gila yang entah darimana.

Uniknya lagi, orang gila ini mampu diajak mengobrol namun ketika ditanya seputar peristiwa ninja dan geger santet, mereka kembali menunjukkan ketidakwarasannya. Beberapa orang percaya ada intelektual dan misi khusus yang berada dibalik ninja dan orang orang "gila" ini.

Dan seperti pola yang umum terjadi, beberapa orang juga menjadi korban tuduhan atau salah tangkap. Beberapa orang yang tidak tau menau dan bahkan tanpa bukti yang konkrit ditangkap atas tuduhan aktor dibalik sosok "ninja".

Orang orang ini kemudian dipertontonkan ke publik dan mendapat hinaan luar biasa dari masyarakat. "Ini ninja sudah tertangkap" ucap petugas yg saat itu mempertontonkan para (terduga) ninja yang dirantai ke masyarakat.

Salah satu orang yg tertuduh ini bernama Syamsul Effendi yang sampai kini berani mempertanggung jawabkan bahwa ia hanya dituduh sebagai ninja hingga harus mendekam di penjara selama 4 tahun 8 bulan.

Catatan ini menjadi peristiwa kelam bagi warga Banyuwangi pada umumnya dan Kalangan NU pada khususnya. Bahkan kisah ini selalu dimuat di beberapa buku NU. Total setidaknya 310 orang yang tewas dalam tragedi ini dan terjadinya kepanikan publik. Korban berasal dari Banyuwangi, Jember, dan Malang.

Wallahu A'lam.

Baca Juga:



Post a Comment (0)
Previous Post Next Post