Perjalanan hidup Dukun AS, Membantai 42 Perempuan demi "Kesaktian"



Pada tahun 1997 masyarakat Indonesia dibuat geger. Di sebuah ladang tebu di Dusun Aman Damai, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, polisi menemukan 42 jasad yang sebagian besar sudah menjadi tengkorak. Semuanya wanita telanjang. Berumur 13 sampai 27 tahun.
 
“Kami, majelis hakim, memutuskan bahwa saudara terdakwa dijatuhi hukuman mati!"

Haogoaro Harefa, hakim ketua yang memimpin jalannya persidangan pada 24 April 1998 tersebut memutuskan perkara dengan mantap. Gemuruh tepuk tangan para hadirin pun langsung memadati ruang sidang.

Sementara terdakwa yang bernama Suradji tampak tenang usai vonis dibacakan. Bahkan, beberapa kali ia tertangkap melempar senyum ke arah juru warta, seolah vonis tersebut bukan perkara serius.

“Saya minta banding," katanya pelan, saat ditanya hakim mengenai sikapnya terhadap putusan pengadilan.

Bagi warga Sumatera Utara, Suradji bukan sembarang orang. Ia yang biasa akrab disapa Dukun AS, adalah tersangka pembunuhan berantai dengan korban tewas sebanyak 42 orang. Semua korbannya adalah perempuan.

Aksi keji itu ia lakukan dalam kurun waktu 1986-1994 di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Motif pembunuhan didasari klaim Suradji atas wangsit dari mendiang ayah yang memerintahkannya untuk membunuh 70 perempuan agar menjadi sakti mandraguna.

Sekilas Tentang Ahmad Suradji

Suradji  terlahir pada 10 Januari 1949, Ahmad Suradji merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Jogan dan Sartik. Dia terlahir dengan nama Sagimin. Sang bapak meninggal saat dia baru berumur 7 bulan. Di lingkungan tempatnya bermukim dia lebih dikenal dengan nama Nasib Kelewang. Pasalnya, saat kecil Suradji pernah tercebur sumur. Hingga nama Nasib Keleweng disematkan padanya.

Saat berumur 27 tahun, Nasib menikahi wanita asal Pekanbaru bernama Tumini. Usai menikah, Nasib berganti nama menjadi Ahmad Suradji. Harapannya, nama baru itu bisa membawa berkah dan kehidupan yang lebih baik.

Hingga pada suatu hari, Sartik dikagetkan dengan keinginan anaknya untuk menikah lagi. Alasannya, dia ingin anak wanita, sementara Tumini hanya bisa memberikan empat anak laki-laki. 

Sartik sebenarnya setuju namun ia syok saat mengetahui bahwa wanita yang hendak dinikahi anaknya adalah adik iparnya sendiri alias adik kandung Tumini. Bahkan Suradji tidak hanya menikahi satu adik Tumini namun dua adiknya, yakni Tuminah dan Ngatiyah.

“Semua orang tahu bahwa itu perbuatan tidak benar,” keluh Sartik. Namun suradji tidak peduli. Ia bahkan mengajak tiga wanita bersaudara itu tinggal satu atap. Karena ibunya terus menerus menentang, Suradji akhirnya mengusir ibu kandungnya dari rumah.

benar sakti atau tidak, oleh masyarakat Suradji dianggap sebagai orang pintar atau dukun. Panggilan Datuk akhirnya disematkan kepada.

Tidak sedikit orang yang mendatangi rumah Suradji untuk meminta pertolongan. Baik berobat karena sakit, pasang susuk agar terlihat cantik, memikat suami agar tidak tergoda wanita lain, atau hal hal lainnya.

Suradji kerap kali bermimpi tentang ayahnya yang sudah lama meninggal. Hingga pada suatu malam, Suradji bimbang. Pasalnya, mendiang sang ayah kembali datang di mimpinya. Dalam pertemuan itu, sang ayah berpesan: jika ia ingin ilmunya semakin sakti dan bisa memberikan “kebaikan" bagi orang-orang di sekitar, ia harus mengorbankan setidaknya 70 nyawa perempuan dan menyedot alir liurnya.

Setelah lama menimbang-nimbang, Suradji akhirnya melaksanakan petuah sang ayah. Maka, diburulah sejumlah perempuan untuk ditumbalkan.

Ada satu korban yang berhasil lolos, yang mulanya memilih diam, hingga akhirnya membuka suara tentang pembunuhan yang dilakukan Dukun As.

Sebut saja namanya Yanti. Seperti dituliskan dalam buku The Bastard Legacy: Warisan Legendaris Para Bedebah karya Jounathan, ia merupakan salah satu korban Suradji yang berhasil melarikan diri.

Pada suatu hari Yanti bertemu temannya yang terlihat cantik dan segar. Sang teman bercerita, dia merasa lebih percaya diri setelah mendapat bantuan seorang dukun sakti bernama Ahmad Suradji atau Dukun AS. Yanti tergoda lalu mendatangi kediaman Suradji.

Awalnya biasa saja layaknya berkonsultasi dengan kebanyakan dukun. Yanti dibacai mantra dan disuruh meminum air putih yang sudah diludahi Suradji. Untuk ritual selanjutnya, Yanti mesti bertemu Suradji lagi pada malam hari di perbatasan desa.

Karena tak curiga, Yanti mengiyakan ajakan Suradji. Dalam pertemuan itu Yanti diajak ke sebuah ladang tebu di belakang rumah. Suasananya betul-betul sepi dan gelap.“Ritual apa yang mesti dilakukan malam-malam begini,” tanya Yanti.

“Kalau mau ilmu yang sempurna, terlihat cantik, dan lancar rezeki, kamu mesti mengikuti ritual ini. Semua pasienku melakukannya. Jika tak percaya, tanyakan saja kepada mereka,” jawab Suradji. Yanti akhirnya pasrah.

Sesampainya di tempat yang lebih lapang, Suradji meletakkan sebuah karung dan menghamparkan tikar kecil. Ia diminta melepas pakaiannya. Semula wanita muda ini ragu-ragu. Tapi karena hasrat untuk terlihat cantik dan lancar rezekinya sangat besar, dia mematuhi perintah Suradji.

Yanti melepas semua pakaiannya. Mantra-mantra mulai dibacakan. Dari dalam karung Suradji kemudian mengeluarkan sekop dan peranti lainnya. Dia membuat sebuah lubang galian kecil. Katanya, untuk ritual yang sempurna, Yanti mesti dikubur di lubang sampai sebatas leher. Istilahnya, Yanti diminta melakukan tapa pendem (bertapa dengan mengubur diri).

Nah, di sinilah Yanti mulai curiga. Namun Suradji bisa meyakinkannya kembali. Hingga pada suatu momen, tiba-tiba Suradji membekap kencang Yanti. Secara reflek Yanti melawan karena mengira akan diperkosa. Suradji berhasil didorongnya hingga terjungkal ke lubang galian.

Begitu tubuhnya bebas, Yanti memakai pakaian sekadarnya dan melarikan diri. Malam itu Yanti pulang dengan tubuh perih karena gesekan batang-batang tebu, dengan pakaian sekadarnya. Meski begitu, Yanti tidak menceritakan kasus ini kepada siapa pun karena menganggapnya aib. Hingga setelah Dukun AS tertangkap, barulah yanti bersuara.

Baca Juga:

Aksi brutal Dukun AS mulai terendus pada media 1997. Aparat Mapolsek Sunggal menemukan 42 rangka manusia di ladang tebu di Dusun Aman Damai, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Rata-rata korban berumur 13 sampai 27 tahun.

Penemuan tersebut berangkat dari informasi seorang pemuda lokal yang tanpa sengaja mendapati mayat tanpa busana di ladang tebu. Korban bernama Sri Kemala Dewi. Mulanya polisi mengira pelaku pembunuhan adalah suami Dewi sendiri. Sebab, menurut keterangan warga, keduanya sempat terlibat pertengkaran pada malam sebelum Dewi menghilang.

Akhirnya, seorang warga bernama Andreas mengaku pernah mengantarkan Dewi ke rumah Suradji guna melakukan konsultasi. Polisi lantas menindaklanjuti keterangan Andreas. Datanglah mereka ke rumah Suradji. Saat ditanya polisi, Suradji mengaku Dewi memang mengunjungi rumahnya. Namun, terang Suradji, “Dewi pulang selepas Maghrib."

Pengusutan kasus sempat terhenti karena bukti-bukti yang ditemukan tak cukup. Tapi, polisi tak kehilangan akal. Mereka kemudian mendalami sejumlah laporan orang hilang dalam beberapa tahun terakhir. Dari hasil pendalaman ditemukan satu benang merah, sebagian besar korban adalah pasien Suradji.

Temuan tersebut mendorong polisi untuk kembali mendatangi rumah Dukun AS. Satu per satu sudut rumah disisir secara seksama. Akhirnya polisi menemukan beberapa helai pakaian perempuan dan perhiasan. Barang bukti itulah yang membuat Suradji ditangkap.

Dalam proses interogasi, Suradji mengaku bahwa ia yang membunuh Dewi dan 41 perempuan lainnya demi “memperoleh ilmu sakti." Tak cuma menghabisi nyawa, Suradji juga menyikat barang-barang berharga milik korban.

Tobat, Sebelum Akhirnya Ditembak di Tempat

Kehidupan penjara turut mengubah perilaku Dukun AS. Ia telah bertobat dan membuang semua ilmu kebatinan yang dimilikinya. Dukun AS diberi penjelasan dari segi agama bahwa ilmunya tersebut bakal mempersulit dirinya saat ajal menjemputnya nanti. Nasihat tersebut diterima Dukun AS sehingga ia segera membuang ilmu kebatinan yang dimilikinya.

Sejak “membuang kleniknya, Dukun AS rajin mengikuti pengajian yang diselenggarakan dua kali sebulan di LP Kelas I Tanjung Gusta Medan.

Jika napi lain langsung keluar mushola setelah sholat, Dukun AS akan berdiam diri untuk berzikir dalam waktu yang cukup lama.

Di tengah pertobatannya itu, Dukun AS sempat merasa tertekan setelah mengetahui rencana Kejaksaan Tinggi Sumut yang akan melaksanakan eksekusi mati terhadap dirinya. Kabar tersebut membikin Dukun AS stres mengingat, catat Gatra, ia masih mengharap diberi grasi oleh presiden sebab “sudah memperlihatkan perubahan baik dalam penjara."

Setelah divonis mati oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Deli Serdang, kuasa hukum Dukun AS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tiga tahun kemudian. Upaya kasasi itu ditolak. Pada 2004, dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Dukun AS melayangkan grasi ke presiden. Hasilnya: grasi ditolak pada 27 Desember 2007.

Tak menyerah, beberapa minggu kemudian, tim kuasa hukum Dukun AS lagi-lagi mengajukan grasi. Upaya ini gagal membuahkan hasil. Grasi Dukun AS dikembalikan karena dianggap “belum memenuhi masa dua tahun dari grasi pertama."

Penolakan itu membuat kuasa hukum Dukun AS bertanya-tanya. Menurut mereka, ada kejanggalan sebab penolakan grasi seharusnya dikeluarkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) sebagaimana grasi yang pertama, bukan lewat Sekretariat Negara (Setneg).

Setelah upaya hukum yang diajukan tim Dukun AS pada akhirnya sia-sia. Pada 10 Juli 2008, tiga peluru dari Brigadir Mobil (Brimob) Polda Sumatera Utara menembus dadanya. Dukun AS tewas di tempat. Atas permintaan keluarga, jenazahnya langsung dikebumikan keesokan harinya.

Dukun AS pernah mengatakan, “Sihir hitam datang dari Tuhan. Aku tidak memilikinya lagi, aku telah bertobat. Kuharap aku punya kesempatan untuk hidup." Namun, peluru kadung menembus tubuhnya.

Kendati sudah dieksekusi mati, penolakan terhadap Dukun AS masih kencang. Warga Desa Sei Semayang, tempat tinggal Dukun AS, tidak terima apabila Dukun AS dikuburkan di desa mereka. Salah satunya diutarakan oleh Ana, ibu dari korban Suradji yang bernama Dewi. Ana menegaskan keluarganya takkan ikhlas melihat kuburan Dukun AS bersanding dengan makam putrinya.

“Jika memang harus ditanam di desa itu, jangan dikuburkan di TPU. Kuburkan saja di depan rumahnya, jangan di perkuburan umum, Terlalu berat penderitaan kami akibat perbuatan Dukun AS. Kami tidak terima jika dia dikuburkan di desa ini." Ujarnya.

Setelah beberapa jam dieksekusi mati, jenazah dukun AS langsung dikebumikan keluarganya. Rencana pemakaman di halaman rumah ditolak warga, sehingga Jenazah Dukun AS dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Keling Garuda, Dusun XV, Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Prosesinya yang berlangsung sekitar 15 menit, berakhir sekitar pukul 01.15 WIB, Jumat (11/7/2008).

Berpindahnya lokasi penguburan, karena adanya penentangan dari sejumlah warga sekitar yang sebagian di antaranya merupakan keluarga dari korban yang dibunuh Dukun AS. Mereka yang kecewa dengan masa lalu Dukun AS melakukan pemblokiran jalan.

Mereka berencana menghadang mobil ambulans yang membawa jenazah Dukun AS yang sudah berada dalam peti mati dari RSUD Deli Serdang menuju rumah duka yang berada di Dusun I Aman Damai, Desa Sei Semayang. Untuk menghindari terjadinya pertikaian, pengebumian kemudian dipindahkan ke Pekuburan Umum Keling Garuda.

Jenazahpun tidak disemayamkan terlebih dahulu di rumah duka, prosesi penguburan Dukun AS disaksikan sejumlah perangkat kecamatan setempat dan pihak kejaksaan

Wallahu A'lam.

Baca Juga:



Post a Comment (0)
Previous Post Next Post