Kisah Wirdjo, Pembantaian Banjarsari Banyuwangi 1987


Berbicara mengenai banyuwangi memang tidak lepas dari banyaknya kisah misteri didalamnya. Terkenal dengan Julukan kota santet tentu bukan karena tidak ada sebab, hal itu berawal pada tahun 1998 yang telah terjadi pembantaian kepada orang yang dituduh sebagai dukun santet dengan jumlah korban mencapai angka ratusan, dan pada 2 tahun sebelumnya pernah terjadi hal yang sedemikian dengan jumlah korban puluhan orang.

Jauh sebelum peristiwa itu terjadi, tepatnya tanggal 15 April 1987 kabupaten diujung timur pulau jawa ini pernah terjadi sebuah peristiwa kelam dan sedikit orang yang tau, peristiwa mencekam tersebut lebih terkenal dengan sebutan "Pembantaian Banjarsari" Banyuwangi.

Banjarsari sendiri adalah nama sebuah desa di Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian tersebut dilakukan oleh seseorang bernama "WIRDJO".

Lantas Siapakah Wirdjo?
Wirdjo adalah seorang petani berusia 41 Tahun, wirdjo merupakan anak ke 5 dari 9 bersaudara. Memiliki seorang istri bernama Idharoh dan mereka tidak dikaruniai anak. 

Menurut istrinya, Wirdjo ini adalah sosok yang tempramental, mudah tersinggung dan mempunyai hobi berjudi dan mabuk-mabukan. Selain itu menurut paman wirdjo bernama Sutedjo, perilaku Wirdjo selain tempramental juga ada perilaku yang tidak wajar yang tidak seperti pemuda pada umumnya.

Pernah suatu ketika Wirdjo menanak nasi sebanyak 5 kg, kemudian nasi tersebut digoreng dengan sebotol minyak goreng dan setelahnya Wirdjo memakannya sendiri sampai habis dan tidak bisa berdiri karena kekenyangan.

Sang paman pun menceritakan sikap Wirdjo lainnya yang tidak wajar yakni pernah memakan 5 bungkus nasi di sebuah warung dengan cukup singkat, selain itu wirdjo juga senang menyantap & menghabiskan sepiring "Dedeh/dideh" (darah sapi beku yang digoreng).

Diceritakan bahwa Wirdjo kerap bertengkar dengan istri dan ibunya tentang masalah warisan, dan bahkan tidak segan-segan mengancam dengan sebuah senjata tajam. Bahkan sempat berusaha menusuk ibunya dengan menggunakan keris saat terjadi perdebatan, beruntung sang ibu bisa menghindar dan lolos dari maut.

Awal Pembantaian

Cerita bermula dari 2 hari sebelum peristiwa kelam terjadi Wirdjo kerap mengasah Jombret (sejenis celurit tajam khas banyuwangi yang biasa digunakan untuk memotong rumput) dirumahnya. 

Sementara itu kejadian bermula ketika terjadi percekcokan antara Wardjo dengan sang istri di area persawahan, saat itu sang istri sedang menuntun sapi dan wirdjo menganjurkan untuk sedikit bergeser saat menuntun sapi agar tidak tertabrak, tetapi sang istri tidak menghiraukan anjuran tersebut dan akhirnya wirdjo emosi dan mencambuk istrinya dengan cambuk yang biasa digunakan untuk mencambuk sapi.
Karena kesakitan dan takut, istri wirdjo berusaha lari menyelamatkan diri dan pulang ke rumah orang tuanya di desa sebelah.

Setelah kepergian istrinya tersebut Wirdjo berusaha mencari sampai ke rumah mertuanya dengan mengamuk karena tidak menemukan istrinya. Bahkan amukan wirdjo tersebut membuat ciut nyali Hansip setempat. Setelah puas mengamuk akhirnya Wirdjo kembali pulang ke rumah.

Keesokan harinya tanggal 15 April 1987 Wirdjo mengasah sebuah Jombret dan parang di rumahnya sesekali wirdjo mengamati anak angkatnya yang berumur 4 tahun bernama Sri Renny sedang bermain bersama temannya bernama Arbaiyah 4 tahun.

Entah setan apa yang merasuki Wirdjo saat itu. Ketika itu wirdjo berlari menghampiri ke dua bocah kecil tersebut dan mengayunkan jombret ke leher anak angkatnya (Sri Renny) namun sabetan tersebut meleset dan anak angkatnya berlari menyelamatkan diri. Namun naas nasib buruk menimpa Arbaiyah yang tak sempat berlari. Gadis kecil berumur 4 tahun itu tersabet jombret yang diayunkan oleh Wirdjo ke arah leher yang mengakibatkan sang bocah tewas dengan leher yang hampir putus.

Sementara Renny lari ke tengah sawah menemui ibunya. Tak jauh dari tempat kejadian, ibunya sedang membersihkan rumput. Dengan gugup Renny bercerita pada ibunya. Mereka ketakutan dan lari ke jalan raya untuk mencari pertolongan. Beruntungnya Wirdjo tak mengejar mereka. Namun wirdjo justru mencari mangsa lainnya.

Wirdjo menuju ke rumah Maskur, tetangga sebelah rumahnya. Tanpa permisi, dia masuk lewat belakang, menuju dapur. Wirjo menemukan Istri Maskur 40 tahun, sedang menanak nasi. Tanpa menyapa, Wirdjo langsung menebaskan Jombretnya ke leher ibu itu. Seketika lehernya pun hampir putus. Perempuan itu terkapar. Sang suami yang sedang di ruang tengah mau menolong istrinya. Tapi karena usianya sudah lanjut, usahanya pun sia-sia. Lehernya justru ikut menjadi mangsa ketiga. Ditebas senjata Wirdjo.

Tak berhenti di situ. Dari rumah Masykur, Wirdjo menebar teror. Ia berlari kesawah, mengejar orang orang yang sedang bekerja. Orang orang yang tidak tahu menahu apa yang sedang terjadi, tidak lari ketika didatangi Wirdjo. Mereka akhirnya menjadi sasaran amukan Wirdjo. Untungnya para sasaran itu banyak yang berhasil lolos dari amukan Wirdjo.

Saat itulah desa menjadi gempar. Warga desa kemudian berbondong bondong mendatangi tempat kejadian untuk mencari Wirdjo. Tapi hasilnya, mereka justru menemukan mayat mayat bergelimpangan diantaranya Bu Isah, tergeletak di tengah pematang sawah.

Semula Wirdjo bermaksud membabat Gimin, tetapi gagal. Maka Wirdjo beralih pada ibu Isah yang ketika itu sedang membersihkan rumput. Ibu Isah adalah korban keempat wirdjo. 

Sambil mengacungkan senjatanya yang berlumur darah, Wirjo terus berjalan menyusur pematang, ke arah barat. Di sini dia bertemu dengan Istianah, 15 tahun pelajar SMP Kosgoro yang berangkat sekolah melewati sawah. Wirjo yang berjalan berlawanan arah kemudian mengayunkan celuritnya ke leher anak tersebut. Gadis ini sempat berteriak histeris. Tapi akhirnya ia roboh bersimbah darah.

Baca Juga:


Usaha pencarian terhadap Wirdjo terus dilakukan. Hasilnya, bukannya menemukan Wirdjo. Justru yang dijumpai adalah mayat Mbok Suwendah 73 tahun dan Mbah Taman 75 tahun. Leher mereka menganga dan semua hampir putus. Penduduk jadi sibuk mengurus mayat mayat mereka.

Ketika mendengar ada kegaduhan Djam'i (Kamra) langsung keluar dari rumahnya. Di halaman rumahnya, anggota Kamra (Keamanan Rakyat) di desa itu berpapasan dengan Wirdjo. Sadar ada sesuatu yang tak beres, Djam'i melangkah mundur. Ia mengambil jarak. Wirdjo mengayunkan jombretnya, berkelebat dengan cepat. Anggota Kamra yang pintar silat ini menepis. Hasilnya, malah dua jarinya putus terpapas ketajaman jombret Wirdjo. Djam'i akhirnya memilih langkah seribu sambil melolong minta bantuan. 

Wirdjo melanjutkan terornya. Ia berjalan terus mengumbar ketajaman parang dan jombretnya. korbannya total 32 orang: 18 tewas di tempat kejadian, dua lagi meninggal di Rumah Sakit Blambangan, Banyuwangi, dan sisanya luka-luka.  

Penduduk Banjarsari dihantui rasa ketakutan, karena sampai matahari terbenam Wirdjo belum juga ditemukan. Ketakutan menjalar sampai ke seluruh penjuru kota Banyuwangi.

Wirdjo Ditemukan Bunuh Diri

Suasana mengerikan di Banjarsari tak hanya mencekam saat kejadian, tapi juga sesudahnya. Bagaimana tidak, Wirdjo tidak pernah tertangkap dan masih berkeliaran sampai petang hari. Ia masih sama kesetanan seperti sebelumnya. Warga benar-benar ngeri kalau sewaktu-waktu Wirdjo mendatangi rumah mereka.

Banyak masyarakat yang melaporkan ke aparat kepolisisan. Hingga akhirnya aparat pun bergegas turun untuk memburu Wirdjo. Polisi dan anjing-anjingnya, serta para tentara melakukan pencarian besar besaran bersama warga masyarakat sekitar agar bisa segera menemukan Wirdjo.

Perburuan cukup lama dilakukan hingga akhirnya Wirdjo pun berhasil ditemukan. Wirdjo ditemukan dalam keadaan tewas bunuh diri dengan menjerat lehernya sendiri dengan sabuk yang di ikatkan pada sebuah akar pepohonan. Sedangkan kakinya menjuntai di atas sungai.

Kabar kematian Wirdjo pun menyebar luas. Warga pun menyambutnya dengan kelegaan luar biasa. Namun ada juga sebagian kesal dengan penemuan Wirdjo yang sudah Meninggal, sehingga bebas dari hukuman hidup. Dan ada pula sebagaian yang justru takut mengingat Wirdjo katanya tak gampang mati.

Cerita pilu Di UGD RSU Blambangan

Bapak Suherman Salah Satu Saksi Hidup Menunjukan Foto Kondisi RS Kala Itu.



Dari kejadian itu, ada sosok Suherman 62 tahun. warga Kelurahan Taman Baru, Kecamatan Banyuwangi, yang turut menjadi satu dari sekian banyak saksi mata tragedi memilukan tersebut.

Petugas RSUD Blambangan tersebut mengisahkan bahwa kondisi rumah sakit kala itu sangatlah memilukan, korban anak kecil sampai tua renta berjatuhan. Darah membanjiri ruang UGD berserta kamar mayat.

Pemandangan memilukan terhampar di ruang UGD. Beberapa pasien tergeletak di atas ranjang. Saking banyaknya korban, beberapa pasien harus rela beralaskan lantai.

Pasien terus datang secara bergelombang ke UDG RSUD Blambangan saat itu. Korban bervariasi, dari yang masih anak-anak hingga yang sudah lanjut usia. Ada yang datang menggunakan sepeda motor. Ada yang datang secara rombongan dengan menggunakan kendaraan bak terbuka.

Jumlah pasien korban pembacokan Wirdjo semakin lama semakin banyak yang memenuhi ruangan UGD. Kasus yang dialami semua pasien hampir sama. Mereka mengalami luka bekas sabetan senjata tajam di beberapa bagian tubuh.

Ada yang mengalami luka di bagian kepala, leher, pundak, tangan, perut, hingga luka sabetan di kaki. Tragisnya, ada beberapa korban yang datang ke UGD dalam kondisi sudah dalam meninggal dunia. Pasien yang sudah meninggal dunia, langsung dipindahkan ke kamar mayat. Ini membuat situasi kamar mayat hampir mirip dengan UGD. Darah segar berceceran dimana-mana.

Kejadian tersebut menarik perhatian banyak orang yang ingin melihat tentunya. Saking membludaknya massa yang ingin melihat korban sampai-sampai tembok ruang mayatpun roboh tak mampu menahan kerumunan massa dari jendela dan pintu ruangan.

Beberapa Kisah Janggal Seputar Wirdjo

Ada beberapa kisah yang beredar ketika itu, yang kabar tersebut belum tentu kebenarannya. Antara lain :

1. Bala bantuan polisi dari Surabaya mengalami kecelakaan di Asembagus dan menimbulkan korban jiwa dan luka luka. Ambulan yang datang untuk mengangkut korban, juga mengalami kecelakaan di jalan. Jadi tidak ada bala bantuan yang datang ke Banyuwangi.

2. Sebelum membunuh, Wirdjo melakukan puasa 40 hari

3. Setelah membunuh Arba'iyah (korban pertama gadis usia 4 tahun), ia meminum darahnya.

4. Polisi juga dicekam ketakutan. Ketika berusaha menurunkan jasad Wirjo, kakinya masih bergerak gerak, sehingga para polisi lari tunggang langgang. (Saat mengevakuasi jasad Wirdjo).

5. Menurut kakak sepupu Wirjo bernama Pak Ogok, kejadian tahun 1987 itu telah diramalkan oleh seseorang  pada tahun 1965. Katanya : "nanti tahun 1987 Watubuncul banjir darah".

6. 30 Tahun lebih kejadian tersebut terlewati dan konon saat ini tempat di temukan sosok Wirdjo bunuh diri adalah tempat yang wingit (angker) dan cukup mengerikan dikalangan warga setempat.


Baca Juga:



Post a Comment (0)
Previous Post Next Post