Dieng, mendengar namanya mungkin kita akan langsung mengingat sebuah dataran tinggi dengan hamparan bukit bukit, udara dingin, candi dan gelarnya sebagai "negeri di atas awan".
Dan benar sekali, dataran tinggi Dieng dikenal dengan udaranya yang sejuk dan tanahnya yang subur. Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan vulkanik aktif di Jawa Tengah, yang masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo.
Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dieng memiliki Ketinggian rata-rata sekitar 2.000 m di atas permukaan laut. Suhu berkisar 12—20 °C di siang hari dan 6—10 °C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli dan Agustus), suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari.
Nyatanya lokasi yang sama menyimpan sebuah sejarah mengerikan. Dieng menyimpan "neraka" dibawah tanah suburnya. Kejadian yang kemudian dikenal dengan "Tragedi Sinila", tepatnya di tanggal 20 Februari 1979 silam.
Sinila sendiri adalah nama salah satu kawah di Dieng. Seperti kita tau, Dieng berada di kawasan gunung api purba. Bekas dari gunung api purba itu membentuk struktur tanah Dieng dan meninggalkan kawah kawah yang sebagian masih aktif.
Di sekitar Sinila ada beberapa desa yang tinggal dengan damai dan sejahtera, berapa di antaranya adalah Desa Batur, Sumberejo, dan Pekasiran. Mungkin daerah mereka berada sangat nyaman, tapi menurut riwayat beberapa kali sering terjadi fenomena alam yang bikin tak bisa tidur.
Fenomena ini macam-macam, mulai dari erupsi, gempa-gempa dengan guncangan kuat, sampai kawah-kawah yang mengalirkan gas-gas berbahaya. Dari banyaknya kejadian ini, tak satu pun yang benar-benar berbahaya bagi warga desa-desa tersebut. Kecuali untuk kawah-kawah beracun yang pada akhirnya membuat banyak warga kehilangan nyawa.
Peristiwa mengerikan ini terjadi pada 20 Februari 1979, beberapa desa di Dieng diguncang gempa pada pukul 01.55 dini hari. Khawatir bangunan akan rubuh, pendudukpun terbangun dan segera melarikan diri menjauh dari bangunan. Ketika mereka keluar rumah, udara terasa berbeda. Bau belerang sangat menyengat dan udara dieng terasa panas malam itu. Gempa terus terjadi setidaknya sebanyak 3 kali, tepatnya pada jam 01.55 , 02.40 dan 04.00 pagi. Lalu puncaknya terdengar sebuah dentuman yang disusul pijar api dari arah sebuah bukit pada 05.04 wib.
Momen itu adalah tanda kawah Sinila meletus dan mengeluarkan awan kelabu pekat disertai dengan dentuman keras yang menyentak warga Dieng. Kurang dari satu jam, letusan kedua terdengar. Kali ini lahar panas mengalir dari kawah. Aliran lahar panas ini memotong akses jalan setempat sehingga membuat warga empat desa itu terisolasi.
Alih alih menyelamatkan diri dan keluarganya, warga berbondong bondong pergi ke daerah yang bernama Kopucukan. Namun sayang, mereka tidak sadar jika lubang kecil dan rekahan baru yang tercipta akibat aktivitas vulkanik ini, juga menyemburkan gas berbahaya.
Baca Juga:
Hari itu, kawah sinila mengeluarkan gas CO2 (karbondioksida) dan H2S (hidrogen sulfur) dengan konsentrasi tinggi yang sangat mematikan.
Dari data PVMBG, kompleks Kawah Sinila mengeluarkan sekitar 200.000 ton gas CO2 murni dalam waktu yang sangat cepat. Warga terus berjalan ke arah yang salah dengan keluarga dan beberapa ternak mereka. Mereka memasuki lokasi yang justru memiliki konsentrasi H2S dan CO2 yang makin tinggi.
Kedua gas ini biasa dikenal dengan silent killer, karena tidak memiliki warna dan tidak berbau, namun ketika dihirup dalam jumlah tinggi dapat membuat pingsan atau bahkan kematian.
Warga terus berjalan menghindari kepungan lahar panas secara berduyun duyun. Namun ditengah tengah perjalanan, satu persatu dari mereka lemas dan roboh. Beberapa diantaranya mencoba membantu rekannya, namun tak lama iapun merasakan hal yang sama. Lehernya terasa tercekik dan terbakar. Tidak bisa menarik nafas dan kemudian kejang kejang di tanah.
Mereka tidak sadar oksigen di sekitar mereka sudah hampir tidak ada dan berganti dengan gas gas beracun yang dihasilkan aktivitas vulkanis yang "bangun" akibat gempa tadi.
Ketika siang harinya, warga perkampungan lain menemukan banyak mayat bergelimpangan di sekitaran daerah tersebut. Mayat mayat itu nampak bergelimpangan di jalan dan banyak diantaranya yang posisinya seperti berjalan beriringan.
Rata rata korban tewas memiliki ciri keluarnya darah dari kuping, hidung dan mulut. Beberapa lagi, karena tingginya kadar asam dari H2S, tubuhnya menjadi "rapuh" dan berlubang lubang.
Total korban jiwa tragedi Sinila mencapai angka 155 orang. Kebanyakan dari mereka ditemukan tewas tergeletak di tanah seperti gambar postingan diatas. Reaksi dari senyawa kimia di udara ditambah lagi dengan tidak adanya pengarahan penanggulangan bencana kala itu membuat korban tewas yg berjatuhan berjumlah sangat banyak.
Walaupun demikian, total masih ada 15000 orang mengungsi dan selamat, meskipun sebagian besar diantaranya dalam keadaan kondisi sakit parah. Mereka tetap menjauh dari lokasi kejadian selama berminggu minggu setelah kejadian ini karena masih tidak sehatnya udara disana.
Tak hanya itu saja, para warga yang mengungsi juga mengalami sejumlah kerugian besar lainnya. Siapa yang menyangka jika di tengah-tengah duka semacam ini, masih ada orang-orang yang tega melakukan penjarahan di rumah-rumah warga yang mengungsi.
Memang, saat kejadian orang-orang sudah ribut menyelamatkan diri tanpa memikirkan lagi harta-harta yang ditinggal di rumah. Sungguh, benar-benar sikap antipati yang sangat disayangkan.
Tragedi Sinila menjadi salah satu peristiwa nasional yang cukup mengegerkan publik saat itu. Sekaligus menjadi cambuk bagi perkembangan penanganan bencana di Indonesia. Terutama di lokasi lokasi rawan bencana seperti Dieng.
Baca Juga: