Penjabaran ini tidak bertujuan untuk menjatuhkan atau menyalahkan individu dan atau kelompok tertentu. Cerita ini adalah pemaparan sejarah demi pengetahuan dan pembelajaran bersama agar hal serupa tak lagi terulang.
Cerita ini memiliki 2 versi, versi para jamaah, dan versi aparat. Untuk penjabaran ini, saya akan ceritakan sesuai yang disepakati kedua pihak pada umumnya, dan beberapa bagian detail yang berasal dari para jamaah. Untuk pemaparan dari aparat yang berlainan, akan saya kasih tanda (*)
Tanjung Priok, (tanpa mengurangi rasa hormat kepada penduduknya sekarang) dahulunya adalah pemukiman kumuh padat penduduk di Jakarta. Lapisan masyarakat menengah bawah yang umumnya bekerja sebagai kuli bongkar muat barang dan nelayan kecil bermukim di sekitaran kawasan ini.
Di tahun 1984, Presiden yang berkuasa kala itu Soeharto menerbitkan peraturan kontroversial yang ditentang oleh banyak pihak. Yakni menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal yang harus dipegang oleh seluruh organisasi di tanah air.
Artinya, jika ada suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang berasaskan selain dari Pancasila, maka bisa dikatakan bahwa organisasi itu sudah dicap sebagai Anti Pancasila.
Peraturan ini sebenarnya dikecam banyak pihak terutama pada kelompok kelompok berasaskan agama, dan yang paling getol menyuarakan ini adalah para khatib dan penceramah islam. Namun, kekuasaan Soeharto saat itu mampu membuat beberapa penceramah "menahan diri" untuk berkomentar.
Tak hanya peraturan itu saja sebenarnya yang manjadi kontroversi, ada beberapa peraturan lain yang dibaca oleh sebagian pihak bahwa Soeharto memiliki "alergi" terhadap nilai nilai Islam diantaranya diskriminasi bagi para pelajar atau mahasiswi yang berjilbab.
Walaupun para penceramah di berbagai daerah menahan diri untuk membicarakan hal tersebut, lain halnya dengan penceramah yang tersebar di Tanjung Priok.
Mimbar dan speaker mesjid di sana terus menyuarakan perlawanan dan pertentangan terhadap pemerintah. Abdul Qodir Jaelani, salah satu ulama di Tanjung Priok bahkan pernah menantang pemerintah di salah satu ceramahnya yang dihadiri jamaah di Mesjid Al Araf:
“Anda paksakan Asas Tunggal itu, maka anda akan melihat darah kami mengalir di bumi Indonesia ini!” ujarnya.
Selain Abdul Qadir Djaelani, ada sederet nama ustad-ustad yang kerap menyambangi Tanjung Priok, diantaranya Mawardi Noer, Ratono, M. Nasir, Oesman al Hamidy dan Syarifin Maloko.
Nama terakhir (Syarifin) kemudian dicurigai oleh salah satu tim pembela korban peristiwa Tanjungpriok dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Adnan Buyung Nasution sebagai seorang intel.
Di salah satu pemukiman di Tanjung Priok, berdiri sebuah Mushola bernama Mushola As-Sa'dah. Mushola ini salah satu tempat yg menyuarakan perlawanan terhadap peraturan satu asas milik Soeharto.
Mushola As-Sa'dah |
Sabtu, 7 September 1984 datang seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) atas nama Sersan Satu Hermanu ke mushola tersebut dan meminta sebuah pamflet bernada provokatif yang ditempel di dalam mushola As Sa'dah untuk dicabut.
Pamflet ini sendiri berisi kritisi terhadap peraturan satu asas Pancasila, dan pelarangan pemakaian jilbab bagi pelajar dan mahasiswi.
Namun masyarakat kala itu bersikeras untuk mempertahankan keberadaan pamflet itu. Di versi lain, ada yang mengatakan pamflet itu berisi undangan pengajian akbar yang diisi oleh penceramah yang dikenal sering menyuarakan kontra terhadap pemerintah.
Hanya berselang 1 hari kemudian, yaitu 8 September, Sertu Hermanu kembali datang bersama rekannya untuk mencabut secara paksa pamflet tadi. Kali ini ia tidak meminta warga melainkan melakukannya sendiri.
Menurut keterangan warga, Hermanu dan rekannya masuk ke dalam mushola tanpa melepaskan sepatu dan menyiramkan air got untuk mengikis pamflet itu dari dinding.
Dalam persaksiannya Hermanu mengatakan kesulitan untuk melepaskan pamflet tersebut yang ditulis dengan pilox dan akhirnya menggunakan air yang berada paling dekat dengannya waktu itu yakni air got.
Sepatu yang masuk kedalam mushola dan pemakaian air got dianggap sebagai penghinaan bagi umat islam. Warga yang melihat terutama para jamaah mushola tersebut geram. Namun Hermanu bergeming, karena baginya itu adalah bagian dari tugas yang diperintahkan padanya.
2 hari sejak pencopotan pamflet, warga yang marah dan tidak terima akhirnya mengejar Babinsa yang melakukan pencopotan itu. Ketika mendapati orangnya, beramai ramai terjadi adu mulut dan pertikaian antara warga dengan petugas.
Pertengkaran ini hampir menjadi baku hantam jika saja tidak dilerai oleh 2 orang anggota pengurus Masjid Baitul Makmur yang dekat posisinya dengan mushola As Sa'dah. Keduanya adalah Syarifudin Rambe dan Sofyan Sulaiman, yg melerai pertikaian tersebut.
Pihak aparat dan warga yang berseteru kemudian dibawa ke ruangan sekrerariat Masjid Baitul Makmur. Warga berkumpul untuk melihat proses mediasi tersebut. Namun kedua belah pihak sama sama mengeras, sampai akhirnya ada teriakan "bakar motornya!" dari arah luar mesjid.
Dan benar saja, ketika dilihat, motor milik Babinsa sudah dibakar oknum warga.
Merasa "dijebak" oleh pihak pihak yg membawanya ke sekre masjid, akhirnya di hari itu juga, dilakukan penangkapan atas Rambe dan Sofyan, selain itu 2 orang lain yaitu Ahmad Sahi, pengurus mushola As Sa'dah yang dianggap memprovokasi warga untuk menyerang, dan M. Nur selaku pembakar motor.
11 September, warga masih menanti kepastian kabar keempat anggotanya. Namun, tidak ada kejelasan apapun akan nasib keempat orang itu. Apalagi saat itu kekuatan aparat bisa dibilang sangat otoriter dan mengikat.
Hal ini membuat warga melapor kepada Amir Biki, salah satu orang yg bisa dibilang dekat dengan aparat saat itu. Nama Amir Biki memang cukup dikenal warga sebagai negosiator terhadap masalah yang berhubungan dengan militer.
Amir Biki |
Amir Biki kemudian mencoba berunding dengan aparat, meminta agar keempat warga tersebut dibebaskan karena telah terjadi pergolakan amarah di masyarakat. Namun negosiasi dari Amir ditolak oleh petugas dan keempat warga masih tetap ditahan.
Malah permintaan dari Amir Biki "dipermainkan" oleh petugas dan seakan tidak digubris sama sekali.
*Petugas mengatakan bahwa dalam negosiasinya, kelompok amir biki mengancam dengan kekerasan kepada aparat yang mengamankan keempat rekannya*
Merasa dipermainkan, Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama dimohon untuk datang, undangan juga disebarkan kepada umat Islam se-Jakarta dan sekitarnya.
Forum umat Islam itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam, mendekati tengah malam.
12 September, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah tetap dilangsungkan ditengah tingginya tensi masyarakat dengan aparat militer.
Dalam jajaran penceramah sebenarnya tidak ada Amir Biki didalamnya, ia bukan penceramah, hanya tokoh masyarakat. Namun hari itu ia diminta naik mimbar dan memberikan semangat pada jamaah yg hadir.
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” ujar Amir Biki didepan para jamaah.
"Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita," lanjutnya.
Di mimbar yang sama, Amir Biki mengultimatum petugas dengan memberikan batas waktu maksimal sampai jam 23.00 untuk membebaskan keempat tahanan. Jika tidak, maka akan ada pengerahan massa untuk berdemonstrasi di Polres Tanjung Priok dan Kodim.
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polres dan Kodim setempat. Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju gedung Polres dan sebagian menuju Kodim.
Amir Biki bergabung dengan rombongan yang menuju Kodim. Jarak antara Kodim dan Polres tidak begitu jauh, hanya sekitar 200 meter. Selama menuju lokasi, massa yang bergabung terus bertambah banyak.
*Mereka melakukan tindak kekerasa dengan mencelakai warga tionghoa dan melakukan pembakaran beberapa bangunan.
Masyarakat yang menuju polres membentuk barisan. Berjalan bersama sama kearah Polres dengan membawa beberapa bendera.
*Beberapa kedapatan membawa sajam dan bensin.
Tujuannya adalah bersiaga di depan Polres sambil menunggu keputusan atas ultimatum Amir Biki tadi.
Namun, belum sempat sampai ke Polres, rombongan ini dihadang pasukan petugas dengan kondisi siap tempur, lengkap dengan senjata api dan bahkan alat alat berat termasuk panser. Demonstran yang berada di baris depan menahan langkahnya,
Sementara demonstran yang berada di belakang tidak mengetahui keberadaan pasukan di depannya karena banyaknya orang. Sempat terjadi dorongan dari dari belakang karena barisan depan berhenti.
Tanpa disadari dari arah lain, pasukan juga menutup akses jalan sehingga para pendemo yang terdiri dari para remaja mesjid dan jamaah mesjid di sekitar Tanjung Priok ini terkepung. Merasa tak dapat bergerak, pendemo akhirnya bertahan di tempat.
*Massa mengacung acungkan senjata dan meneriaki petugas serta beberapa diantaranya memegang bensin.
Kondisi ini terjadi beberapa saat sampai keluar teriakan dari arah aparat
"Mundur! Mundur!"
Namun perintah ini dibalas dengan pekikan takbir oleh demonstran. Mereka memekik "Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Saat itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah komando "TEMBAK!" disusul suara satu tembakan, yang diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran.
lalu membredel para jamaah dengan senjata otomatis tersebut secara bersamaan. Pekik takbir itu kini berubah teriakan ketakutan saat satu persatu peluru mengenai tubuh para demonstran.
"BRUK!" Satu persatu demonstran tumbang dengan lubang di tubuhnya yang mengeluarkan darah. Barisan demonstran terpecah karena kepanikan. Sementara itu pihak aparat masih terus membredeli para demonstran dengan timah panas secara terus menerus selama +-30 menit tanpa henti!
Korban terus berjatuhan. Beberapa diantara mereka ada yang masih sadar dan meminta tolong untuk ditarik menjauh dari lokasi, namun apa daya, teman yang menolongnya justru ikut tertembak dan tewas.
Tembakan meletus dengan membabi buta menghujani para demonstran ditengah takbir dan teriakan mereka. Sepertinya tubuh yang satu persatu tersungkur itu belum cukup untuk membuat aparat kala itu puas.
Bahkan, seorang saksi mata mendengar umpatan dari salah seorang tentara yang kehabisan amunisi. “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" Sebagimana ditulis di buku Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa?, 1998: 32.
Belum habis kepanikan dan korban yang berjatuhan, muncul bala bantuan aparat dari arah pelabuhan. Dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang dengan kecepatan tinggi secara konvoi beriringan.
Tak hanya memuntahkan peluru dari anggota diatasnya, dua kendaraan berat itu juga menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan berpadu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk karena dilindas oleh truk berban 10 itu.
Mereka yg terlindas umumnya adalah demonstran yang tengah tiarap menghindari tembakan, atau yang mengalami luka dan tidak bisa berlari.
Aparat bergerak maju hingga sampai ke posisi tempat demonstran tadi berdiri. Mereka yang sekarat "dihabisi" hidupnya dengan tembakan. Beberapa lagi ditendangi oleh petugas.
Tubuh tubuh tak bernyawa itu kini bergelimpangan di jalan jalan dan selokan.
Pasukan yang naik di atas 2 truk itu kemudian turun dan memunguti para jasad yang tergeletak di jalan. Menurut penuturan sebagian orang dari pihak demonstran, jumlah orang yg dinaikkan dan ditumpuk tumpuk tubuhnya di truk tersebut mencapai puluhan orang.
Sementara korban luka semuanya dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat para demonstran pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan sekitar TKP sampai bersih.
Ingat bahwa Amir Biki terpisah dari rombongan ini dan bergabung dengan rombongan yg menuju kodim? Nasib serupa juga terjadi padanya. Hanya berjarak sekian meter dari kodim, rombongannya dihadang oleh pasukan bersenjata lengkap.
Pihak militer lalu meminta 3 perwakilan massa untuk maju sementara yg lainnya harus tetap berada di tempat. Majulah 3 orang kala itu mewakili demonstran yang awalnya sebagai utusan negosisasi, namun ketika melangkah maju, tiba tiba saja senjata senjata yang aparat pegang diarahkan ke ketiganya
Tanpa sempat berlari dan mengelak, ketiganya dibrondong timah panas petugas hingga tewas di tempat termasuk Amir Biki
Melihat kejadian itu, para demonstran yang awalnya menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur dengan peluru bersarang di tubuhnya.
Isu yang beredar PanglimaABRI / Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani berada di lokasi kejadian sejak truk mulai mengangkuti jasad jasad korban. Nampak pula di lokasi Try Sutrisno selaku wakil presiden.
Hal ini semakin membuat stigma negatif mengenai LB Moerdani sebagai otak dari segala kerusuhan yg berhubungan dengan sara ini, dan dikenal sebagai tangan kanan Soeharto yang sepehamanan dengan The Smiling General dalam menjalankan tugasnya.
Terjadi kesimpang siuran data mengenai jumlah korban, setidaknya terdapat 3 pihak yang mengklaim jumlah korban dengan data yang berbeda beda. Dan tidak diketahui mana data yang benar antara ketiganya.
Pemerintah, kala itu lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. .
Sementara komnas HAM menyebutkan ada 24 korban tewas dan 54 luka luka. Dan sampai saat ini secara umum ini dilabeli dengan kata "data valid" walaupun banyak masyarakat yang merasa tidak yakin dengan data ini.
Tapi data dari LSM Sontak (Solidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) berkata lain. Jumlah korban yang tewas yg mereka data mencapai angka 400 orang. Belum termasuk yang hilang. Data inilah yang lebih dipercayai para ex demonstran yang masih hidup.
Banyak diantara rekan rekan mereka yang menghilang dan diduga diangkut ke dalam truk tersebut sehingga seolah olah menyamarkan jumlah masive korban
Bagaimana tanggapan Presiden Soeharto kala itu? Soeharto tampaknya tidak pernah menyesalkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang terbit 4 tahun setelah insiden memilukan tersebut, ia berucap:
“Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan."
Dan sama seperti serangkaian kasus era Orba lainnya, pengusutan mengenai kasus ini terkesan lamban dan tidak kunjung menemukan titik terang.
Masih banyak keluarga korban hingga hari ini menuntut keadilan atas nyawa keluarganya yg hilang dalam insiden tersebut.Tragedi Tanjung Priok 1984 masih menjadi kasus pelanggaran HAM yg belum menemui kata tuntas hingga detik ini.
Baca Juga:
Kisah Tragis Pembunuhan Dan Pemerkosaan Junko Furuta