Suriname, Negara Pengguna Bahasa Jawa di Benua Amerika

Imigran Jawa Ke Suriname

Republik Suriname terletak di kawasan Amerika Selatan dan terletak di ibu kota Paramaribo. Republik ini memiliki penduduk dengan etnis Jawa sebanyak 15 persen dari total penduduk mencapai 590,855 jiwa per 22 April 2021 lalu.


Adapun komposisi agama yang dianut di Suriname per tahun 2020, yaitu Hindu sebanyak 27,4 persen, Protestan sebanyak 25,2 persen, Katolik Roma sebanyak 22,8 persen, Islam 19,6 persen, termasuk Javanisme, dan Animisme yang diakui oleh pemerintah.


Etnis yang ada di Suriname ialah Hindustan sebanyak 37 persen, Kreol sebanyak 31 persen, Jawa sebanyak 15 persen, Marrons sebanyak 10 persen, dan Amerindian sebanyak dua persen. Kemudian, China sebanyak dua persen, bangsa kulit putih sebanyak satu persen, dan lainnya sebanyak dua persen. Data ini diambil dari laman Worldometer.


Asal-usul Suriname


Suriname dihuni sekitar 3000 tahun sebelum masehi oleh orang India. Di Suriname, ada Suku Indian. Mereka bertahan hidup dengan cara berburu dan menangkap ikan.


Sebagian besar Suku Indian hidup sebagai pengembara. Beberapa orang Suku Indian ada juga yang hidup sebagai petani. Kemudian, pada tahun 1650 orang Eropa menetap di Suriname. Namun, mereka tidak bertahan dalam waktu yang lama.


Lalu, Suriname mulai dijajah ketika para pemukim Inggris dikirim oleh Gubernur Barbados Lord Willoughby ke Republik itu. Setelah perjanjian damai Breda, pada tahun 1667 orang Zealander Abraham Crijnsen menginvasi pemukiman Willoughby.


Akan tetapi, Belanda kehilangan koloninya di Amerika Utara tepatnya di New York. Akibat permusuhan antara orang Eropa dan orang India perkebunan di Suriname terancam.


Di tahun 1683 Gubernur Suriname Sommelsdijck sudah berupaya untuk meningkatkan keamanan perkebunan. Namun, ia terbunuh dalam pemberontakan di Suriname pada tahun 1688 silam.


Namun, di akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, pertanian di Suriname berkembang dengan subur. Sebagian besar pekerjaan di perkebunan itu dilakukan oleh para budak dari Afrika.


Para budak itu jumlahnya melebihi jumlah orang Eropa di perkebunan dan para budak dari Afrika tidak diperlakukan dengan baik. Maka dari itu, tidak sedikit dari mereka yang melarikan diri ke hutan. Para budak dari Afrika bekerja di kawasan Karibia, Suriname. Hingga akhirnya, nama pengungsian para budak itu dikenal dengan pengungsian Maroon.


Kendati demikian, Gubernur Mauritius dan Crommelin telah berhasil membuat perjanjian damai dengan beberapa Suku Marron. Pasalnya, masih ada suku di Suriname yang menyerang pemukiman Eropa.


Kemudian, pada Revolusi Prancis tahun 1789 perbudakan di tetangga timur Suriname, Guyana Prancis dihapuskan. Sementara itu, Suriname diduduki oleh Inggris pada tahun 1799.


Inggris datang ke Suriname, setelah Belanda menjadi bagian dari Prancis. Suriname ada di tangan Inggris hingga 1816. Inggris menghapuskan perdagangan budak di Suriname pada 1808. Selain itu, Inggris juga menaikkan kodrat posisi budak di Suriname.


Lalu, pada 1 Juli 1863, Belanda menjadi orang Eropa terakhir yang menghapus perbudakan di Suriname. Meski begitu, 10 tahun sebelum tanggal dihapuskannya perbudakan di Suriname, Belanda telah mendatangkan para buruh dari benua lain. Buruh-buruh tersebut ialah orang Tionghoa dari Indonesia dan para petani Belanda dari Groningen.


Kedatangan para petani Belanda ditujukan agar dapat menyelamatkan pertanian Suriname, tapi hal ini tidak berhasil. Setengah dari para petani Belanda meninggal dalam waktu satu tahun. Kemudian, orang Tionghoa segera meninggalkan wilayah perkebunan setelah masa kerja mereka habis atau selama wajib lima tahun bekerja.


Orang Indonesia di Suriname


Sementara itu, Pada tanggal 9 Agustus 1890, Kapal SS Prins Williem II tiba di Pelabuhan Paramaribo, Suriname. Diberangkatkan dari Pelabuhan Batavia, Hindia Belanda, dan menempuh perjalanan dua bulan lamanya, kapal itu mengangkut 94 orang Jawa yang merantau ke Suriname untuk bekerja.


Perantau Jawa - Suriname

Momen itu kemudian diperingati sebagai Dag der Javaanse Immigratie atau gelombang pertama kedatangan orang-orang Jawa di Suriname.


Selama menetap di Suriname, orang-orang Jawa itu banyak bekerja di sektor perkebunan seperti tebu, cokelat, kopi, dan juga pertambangan bauksit. Total antara tahun 1890 sampai 1939, ada hampir 33 ribu orang Jawa yang diberangkatkan ke Suriname.


Sebagian dari mereka ada yang pulang kembali ke tanah Jawa. Namun banyak pula di antara mereka yang memilih menetap di negeri rantau dan kemudian beranak pinak di sana. Lalu setelah 131 tahun berlalu, bagaimana kehidupan para keturunan Jawa di Suriname di masa sekarang?


Selain para perantau dari Jawa, saat itu di sana juga ada perantau yang didatangkan dari India serta orang kulit hitam dari etnis Creole dan Maroon. Oleh karena itu, butuh 30 tahun lamanya bagi orang Jawa untuk menduduki posisi yang agak terpandang di Suriname. Para keturunan Jawa mulai ada yang bekerja sebagai kepala desa, perawat, penerjemah, dan guru.


Bahkan pada tahun 1970, beberapa orang keturunan Jawa menempuh pendidikan di Belanda dan menyandang gelar sarjana. Hingga akhirnya, ada pula yang mendirikan partai politik. Hingga kini, di Suriname ada beberapa partai politik yang didirikan para keturunan Jawa seperti Pertjajah Luhur, D21, NSK, dan sebagainya.


Di Suriname, para keturunan Jawa ini telah banyak yang terjun ke berbagai sektor. Di sektor politik, ada Raymond Sapoen yang pernah mencalonkan diri menjadi presiden. Lalu di bidang ekonomi, ada pengusaha keturunan Jawa yang mendirikan Trust Bank Amanah, yang menjadi bank syariah pertama di Amerika Selatan.


Lalu di sektor kesehatan, ada keturunan Jawa yang mendirikan jaringan klinik kesehatan bernama Intermed. Lalu ada Diapura yang khusus memberi perawatan pada pasien dengan penyakit ginjal.


Tak hanya itu, ada pula yang bergerak di bidang media komunikasi seperti RTV Garuda dan RTV Mustika. Selain itu masih banyak lagi yang bergerak di sektor-sektor lain seperti konstruksi, pariwisata, tekstil, kebutuhan pokok.


Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, banyak orang Jawa Suriname yang ingin pulang ke Jawa. Sekitar tujuh ribu orang sempat pulang ke Indonesia, namun pemerintah mengarahkan mereka ke Tongar, Sumatra Barat, karena Jawa sudah padat. Buruknya fasilitas hidup yang disediakan pemerintah di daerah tersebut membuat sebagian orang Jawa Suriname itu memilih kembali ke Suriname.



Akan tetapi, orang Jawa Suriname tidak ingin berulangnya sejarah seperti yang terjadi pada nenek moyang mereka. Orang Jawa Suriname tidak ingin pulang ke Indonesia, tapi bukan di Jawa. Maka itu, mereka pun pergi lagi ke Suriname yang masih dianggap sebagai tanah Jawa.


Untuk menjaga tali silahturahmi, orang Jawa Suriname menggunakan media sosial seperti Facebook untuk bertemu keluarga jauh. Orang-orang Jawa di Suriname juga memperingati kedatangan mereka ke Guyana Belanda setiap 9 Agustus. Hari itu diberi nama dengan Hari Imigrasi Jawa yang dikenal sebagai The Day of Wong Jawa


Baca Juga:


Tradisi Potong Jari Ala Suku Dani


Teungku Bantaqiah dan Santri Pesantren Babul Al Mukarramah, "Tragedi Beutong Ateuh" Aceh, 23 Juli 1999.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post