Gus Dur Tentang Ilusi Negara Islam
Gus Dur ialah salah satu tokoh yang sangat paham permainan politik di bangsa ini. Karena, era Gus Dur isu agama dimulai. Gus Dur lah yang di uji coba memakai isu agama dengan cara membiayai pemberontakan di sejumlah daerah.
Gus Dur layaknya Cak Nur (Nurcholis Madjid), sangat mengkritik orang yang menggunakan agama demi tujuan politik. Agama begitu mulia, jika suatu agama masuk ke dalam politik atau lebih tepatnya memakai agama demi kekuasaan, fungsi agama sebagai kontrol sosial akan hilang.
Gerakan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia masih tumbuh subur. Minimal mereka memasukkan hukum Qisas ke dalam UU di negara ini dengan tujuan, atas hukum tsb, kelompok yang berbeda dengan mereka bisa di bunuh.
Inilah pentingnya sebuah kajian, dimana Islam sebagai agama harus diambil substansinya bukan simbolnya. Kalo kata Gus Mus, orang yang menggunakan isu agama untuk jabatan, dia nanti yang paling bertanggung jawab dihadapan Allah.
Seperti yang marak terjadi di pilpres 2019 ini, Banyak umat muslim yg salah kaprah, dengan semboyan membela Tuhan,
Bahkan taktik berkedok agama itu berlangsung sejak era Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI.
Tanggal 30 Desember, sembilan tahun silam, Gus Dur meninggal dunia. Sebagaimana pokok pikirannya yang paling mendasar, ‘Tuhan tidak perlu dibela’, Gus Dur juga tak perlu dibela. Bukan karena ia Tuhan, tetapi karena kegusdurannya jauh lebih kuat dari kita yang ‘coba-coba membelanya’.
Yang pasti, Gus Dur bukan kelahiran Indonesia, setidaknya demikian sejarah membuktikan. Abdurrahman Addakhil, nama kecil Gus Dur, lahir di Kabupaten Jombang pada 7 September 1940, waktu itu berstatus sebagai bagian dari negara Hindia Belanda.
Gus Dur layaknya Cak Nur (Nurcholis Madjid), sangat mengkritik orang yang menggunakan agama demi tujuan politik. Agama begitu mulia, jika suatu agama masuk ke dalam politik atau lebih tepatnya memakai agama demi kekuasaan, fungsi agama sebagai kontrol sosial akan hilang.
Gerakan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia masih tumbuh subur. Minimal mereka memasukkan hukum Qisas ke dalam UU di negara ini dengan tujuan, atas hukum tsb, kelompok yang berbeda dengan mereka bisa di bunuh.
Inilah pentingnya sebuah kajian, dimana Islam sebagai agama harus diambil substansinya bukan simbolnya. Kalo kata Gus Mus, orang yang menggunakan isu agama untuk jabatan, dia nanti yang paling bertanggung jawab dihadapan Allah.
Seperti yang marak terjadi di pilpres 2019 ini, Banyak umat muslim yg salah kaprah, dengan semboyan membela Tuhan,
Bahkan taktik berkedok agama itu berlangsung sejak era Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI.
Tanggal 30 Desember, sembilan tahun silam, Gus Dur meninggal dunia. Sebagaimana pokok pikirannya yang paling mendasar, ‘Tuhan tidak perlu dibela’, Gus Dur juga tak perlu dibela. Bukan karena ia Tuhan, tetapi karena kegusdurannya jauh lebih kuat dari kita yang ‘coba-coba membelanya’.
Yang pasti, Gus Dur bukan kelahiran Indonesia, setidaknya demikian sejarah membuktikan. Abdurrahman Addakhil, nama kecil Gus Dur, lahir di Kabupaten Jombang pada 7 September 1940, waktu itu berstatus sebagai bagian dari negara Hindia Belanda.
Negara Indonesia masih berupa gagasan. Jadi tak usah risau dengan asli dan tidak, keturunan dan bukan keturunan. Kata Gus Dur, “Keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya.”
Jika mayoritas menggugat ketidakadilan, karena dominasi (dalam bidang ekonomi) minoritas, Gus Dur tidak khawatir dengan hal itu. Menurutnya, “Itu lahir karena kita yang sering merasa minder.” Termasuk ketakutan akan perubahan dan pembaruan.
Jika mayoritas menggugat ketidakadilan, karena dominasi (dalam bidang ekonomi) minoritas, Gus Dur tidak khawatir dengan hal itu. Menurutnya, “Itu lahir karena kita yang sering merasa minder.” Termasuk ketakutan akan perubahan dan pembaruan.
Apakah yang akan dikenakan nabi Muhammad "Seandainya beliau hidup di masa kini? Tetap berjubah sajakah, seperti orang arab dari pedalaman semenanjung bergurun luas itu, ataukah mengenakan pakaian lebih universal, seperti celana, dasi, dan jas?” bertanya Gus Dur.
Menurut Gus Dur, kita butuh Islam yang ramah bukan Islam yang marah. Gus Dur yang mengakui bahwa dirinya pengikut atau pengagum Mahatma Gandhi, menginginkan agar agama jangan jauh dari kemanusiaan. Gus Dur meyakini, semakin tinggi martabat manusia yang menjadi pemeluknya maka semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri.
Bagi mereka yang berpegang teguh pada dasar-dasar Islam, kemudian berusaha mempertahankannya dari sesuatu yang disebut sebuah ancaman, “maka sekarang kita melihat banyak orang mempertahankan kekuasaan, mempertahankan wilayah, mempertahankan segala hal yang mendasar dengan kepercayaan bahwa mereka membela Islam. Itu namanya politisasi!”
Islam, kata Gus Dur, tidak datang untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi.
Menurut Gus Dur, kita butuh Islam yang ramah bukan Islam yang marah. Gus Dur yang mengakui bahwa dirinya pengikut atau pengagum Mahatma Gandhi, menginginkan agar agama jangan jauh dari kemanusiaan. Gus Dur meyakini, semakin tinggi martabat manusia yang menjadi pemeluknya maka semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri.
Bagi mereka yang berpegang teguh pada dasar-dasar Islam, kemudian berusaha mempertahankannya dari sesuatu yang disebut sebuah ancaman, “maka sekarang kita melihat banyak orang mempertahankan kekuasaan, mempertahankan wilayah, mempertahankan segala hal yang mendasar dengan kepercayaan bahwa mereka membela Islam. Itu namanya politisasi!”
Islam, kata Gus Dur, tidak datang untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi.
Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya. Islam yang harus dipagari rapat-rapat, dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurniannya, menurut Gus Dur hanyalah merupakan pengakuan terselubung akan kelemahan Islam. “Islam itu tidak perlu dikerek jadi bendera!”
Persamaan teologis antara dua agama, tidak akan mungkin ada, kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Maka, apa yang dikatakan Ustadz Abdul Somad, bahwa Natal adalah perayaan Dewa Matahari, hanyalah contoh kecemasan berlebihan. Bagi Gus Dur, bukan pada soal akidah masing-masing agama, melainkan dalam hukum masyarakat ialah persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan.
Masalah ketuhanan memang rumit. Namun, tulis Gus Dur dalam Tuhan Tak Perlu Dibela, mungkin sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita tertuntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu tidak akan pernah tercapai. Upayanya yang penting, bukan tercapainya hasil mutlak.”
Dituliskan pula oleh Gus Dur, mengutip Al-Hujwiri: “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya.”
Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif, kata Gus Dur. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk.
Persamaan teologis antara dua agama, tidak akan mungkin ada, kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Maka, apa yang dikatakan Ustadz Abdul Somad, bahwa Natal adalah perayaan Dewa Matahari, hanyalah contoh kecemasan berlebihan. Bagi Gus Dur, bukan pada soal akidah masing-masing agama, melainkan dalam hukum masyarakat ialah persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan.
Masalah ketuhanan memang rumit. Namun, tulis Gus Dur dalam Tuhan Tak Perlu Dibela, mungkin sengaja dibuat rumit oleh Tuhan, agar kita tertuntut untuk senantiasa berada dalam upaya pencarian hakikat-Nya, walaupun itu tidak akan pernah tercapai. Upayanya yang penting, bukan tercapainya hasil mutlak.”
Dituliskan pula oleh Gus Dur, mengutip Al-Hujwiri: “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya.”
Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif, kata Gus Dur. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk.
Kepentingan Nasional memiliki hukum-hukumnya sendiri, yang dalam banyak hal 'dimanfaatkan' untuk kepentingan agama. Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk mengkonkretkan hidup beragama.
Bukan sebaliknya. “Bukankah dengan demikian menjadi jelas bagi kita, bahwa menerima perbedaan pendapat dan asal muasal bukanlah tanda kelemahan melainkan awal dari kekuatan?”
Terlalu banyak orang-orang Islam yang gagal dalam mencerna Islam, yang mengajarkan untuk berbelas-kasih terhadap sesama dan mengerti sistem norma mereka, mengetahui bahwa ini ditoleransi oleh Islam sebagai sebuah agama.
Terlalu banyak orang-orang Islam yang gagal dalam mencerna Islam, yang mengajarkan untuk berbelas-kasih terhadap sesama dan mengerti sistem norma mereka, mengetahui bahwa ini ditoleransi oleh Islam sebagai sebuah agama.
Demokrasi bukan hanya tak haram, tapi wajib dalam Islam. Menegakkan demokrasi itu salah satu prinsip Islam, yakni syuro.
Gus Dur yang mengatakan tidak berbicara dengan kata mungkin, menceritakan apa yang dipikirkannya; “Saya mengatakan kepada murid-murid, bahwa kita mampu mendesak tanpa melakukan kekerasan, dan kita bisa berjalan ke arah demokrasi tanpa kekerasan. Dengan cara itu, Tuhan akan merestui kita. Meskipun takut, kita jalan terus. Berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin disitu harga kita ditetapkan.”
Kalau ingin melakukan perubahan, kata Gus Dur, jangan tunduk terhadap kenyataan, asalkan kau yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan. Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Gus Dur yang mengatakan tidak berbicara dengan kata mungkin, menceritakan apa yang dipikirkannya; “Saya mengatakan kepada murid-murid, bahwa kita mampu mendesak tanpa melakukan kekerasan, dan kita bisa berjalan ke arah demokrasi tanpa kekerasan. Dengan cara itu, Tuhan akan merestui kita. Meskipun takut, kita jalan terus. Berani melompati pagar batas ketakutan tadi, mungkin disitu harga kita ditetapkan.”
Kalau ingin melakukan perubahan, kata Gus Dur, jangan tunduk terhadap kenyataan, asalkan kau yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan. Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Tuhan tidak perlu di bela karena DIA yang Maha Kuasa. “Guru spiritual saya adalah realitas. Dan guru realitas saya adalah spiritualitas. Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya.”
Di negerinya sendiri, dalam jaman Orde Baru, ia pernah mendapat ancaman pembunuhan, karena pandangan politiknya. Prabowo Subianto, mantu Soeharto, pernah mengancam untuk membunuhnya. Demikian juga Rizieq Shihab, memprovokasi massa untuk menculik dan membunuh Gus Dur. Dan semuanya tak ada yang mempan.
Kalau tentang kesukaan pergi ke makam Gus? Kyai Haji Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia, itu ngendika, sebagaimana ujar Ali bin Abi Thalib yang kapok berhubungan dengan manusia (hidup) yang begitu culasnya, “Saya datang ke makam, karena saya tahu. Mereka yang mati sudah tidak punya kepentingan lagi.”
Bagi Gus Dur, memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan menistakan manusia, berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.
Di negerinya sendiri, dalam jaman Orde Baru, ia pernah mendapat ancaman pembunuhan, karena pandangan politiknya. Prabowo Subianto, mantu Soeharto, pernah mengancam untuk membunuhnya. Demikian juga Rizieq Shihab, memprovokasi massa untuk menculik dan membunuh Gus Dur. Dan semuanya tak ada yang mempan.
Kalau tentang kesukaan pergi ke makam Gus? Kyai Haji Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Republik Indonesia, itu ngendika, sebagaimana ujar Ali bin Abi Thalib yang kapok berhubungan dengan manusia (hidup) yang begitu culasnya, “Saya datang ke makam, karena saya tahu. Mereka yang mati sudah tidak punya kepentingan lagi.”
Bagi Gus Dur, memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan menistakan manusia, berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.
Wallahu A'lam
Baca Juga: