Taubat


Dosa dan kesalahan bisa terjadi kapan saja. Baik sengaja ataupun tidak disengaja. Sadar ataupun tak sadar. Dengan pengetahuan ataupun tanpa pengetahuan. Anehnya, meski berkali-kali diingatkan Allah dalam berbagai cara, kita tak memiliki kesadaran yang kokoh untuk melakukan tobat. 

Akhirnya, kita selalu terjerumus dari lubung dosa yang satu dan lubang dosa yang lain. Kita tak pernah mau menyesali dosa dan kesalahan, tapi membiarkannya bertumpuk-tumpuk dan menggunung.

Ajaran hikmah Imam Al-Ghazali dalam kitab Tawbah, Ihya Ulumuddin sangat diperlukan, agar kita memiliki ilmu dan panduan untuk memperbaiki diri serta menyucikan jiwa. Sebagaimana badan yang memerlukan nutrisi, jiwa pun memerlukan nutrisi yang baik untuknya agar bersih dan sehat.

Menurut Imam Al-Ghazali, tobat adalah ungkapan penyesalan yang sangat mendalam, yang menumbuhkan tekad kuat dan tujuan untuk memperbaiki diri. 

Sedangkan penyesalan itu lahir dari pengetahuan dan kesadaran (‘ilm)  bahwa segala macam kemaksiatan merupakan penghalang antara seorang hamba dengan Sang Khaliq. Agar kesadaran, penyesalan, dan tekad kuat itu berjalan dengan baik, maka diperlukan sikap istiqamah dan kesempurnaan.

Kesadaran adalah pendorong utama untuk bertobat. Sedangkan penyesalan adalah rasa perih di hati akibat hilangnya Sang Kekasih dalam diri. Tanda-tandanya adalah rasa sedih, berduka, meneteskan airmata, menangis, dan sering merenung.

Seseorang yang hatinya ikut merasakan hukuman yang dialami anaknya atau orang yang ia cintai, tentu akan merasakan hukuman seperti yang dialami oleh anaknya, merasa bersedih dan menangis. 

Padahal, kekasih mana yang lebih dicintai daripada dirinya sendiri? Hukuman apa yang lebih keras daripada api neraka? Apakah ada yang lebih kuat menyeret manusia kepada hukuman melebihi perbuatan-perbuatan maksiat? Dan, pemberi kabar manakah yang lebih jujur daripada Allah dan rasul-Nya?

Jika seorang ayah diberitahu oleh seorang dokter bahwa anaknya yang sedang sakit tidak mungkin lagi bisa disembuhkan dan tidak lama lagi akan meninggal dunia, maka seketika itu pula sang ayah pasti akan bersedih bukan? Padahal, anak itu tidak lebih dicintai daripada dirinya sendiri. Dan, dokter itu pun jelas tidak lebih tahu dibandingkan dengan Allah dan rasul-Nya.

Sungguh, kematian itu tidak lebih berat dan keras daripada api neraka, dan penyakit itu tidak lebih jelas menyebabkan kematian daripada kemaksiatan yang pasti mengundang murka Allah serta akan mengantarkannya kepada api neraka.

Semakin besar rasa pedih akibat penyesalan, maka makin besar pula harapan untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu. Dan, di antara tanda-tanda penyesalan yang paling tampak adalah hati yang menjadi semakin lembut dan mata yang mudah meneteskan air mata.

Seorang alim berkata, “Bergaullah dengan orang-orang yang suka bertobat, karena sesungguhnya mereka itu sangat lembut hatinya.”

Termasuk ciri penyesalan adalah adanya rasa pahit karena dosa di dalam hati, bukan manis karena dosa yang pernah diperbuat. Sehingga muncul kecenderungan untuk membenci dosa dan menghindar darinya.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Allah SWT berfirman kepada nabi-Nya, yang menanyakan tentang ditolaknya tobat seorang hamba. Padahal, hamba itu sudah berulang kali meminta tobat hingga bertahun-tahun, sudah beribadah siang dan malam, namun belum ada tanda-tanda tobatnya akan diterima.

Allah berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, seandainya seluruh penghuni langit dan bumi memohon syafaat untuknya, Aku tetap tidak menerima tobatnya, karena manisnya perbuatan dosa yang ia lakukan masih tersisa dalam hatinya.”

Imam Al-Ghazali dalam kitab Tawbah, Ihya Ulumuddin.

Wallahu A'lam.

Baca Juga:


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post