Tragedi Karbala, Terbunuhnya Sayyidina Husain Cucu Rasulullah SAW



Cara Bijak Leluhur Jawa Melawan Lupa Tragedi Karbala di Bulan Asyura.

Jika Anda bertanya kepada masyarakat Jawa, apa nama penyangga pintu yang terpasang di rumahnya, maka mereka akan menjawabnya dengan sebutan "kusen". 

Pernahkan Anda menyangka bahwa nama "kusen" bukan hanya sekadar nama tanpa makna? Tahukah Anda bahwa ternyata inilah satu di antara banyak pesan tersembunyi dari ekspresi cinta masyarakat Jawa kepada keluarga Nabi yang disimbolkan melalui bagian penting dari sebuah rumah?

Yaa, Kusen tak lain adalah personifikasi dari Husen (Husein) cucunda Nabi yang dibantai 30 ribu tentara Muslim atas perintah Khalifah Yazid bin Muawiyah. Sedangkan pintu adalah personifikasi sayyidina Ali bin Abi Thalib, sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda, “Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Secara samar dan unik rupanya leluhur kita ingin menyampaikan pesan sejarah, bahwa, ajaran yang diwarisi Sayyidina Ali dari sang Nabi SAW hampir saja punah sia-sia, jika Husen tidak menapaki jalan kesyahidan seperti Sayyidina Ali ayahnya.

Dan bukan hal baru bahwa masyarakat Jawa seringkali mengajarkan etika dan moral melalui simbol-simbol. Mereka memang punya cara yang khas dalam menyampaikan pesan, baik melalui syair, sanepa, perlambang penamaan pada benda-benda, aneka kuliner (seperti bubur suro, ketupat dll), maupun melalui pemadatan bahasa.

Kata “Suro” misalnya, adalah pemadatan dari kata “Asyura” yang bermakana peristiwa menyedihkan hari kesepuluh di bulan Muharam, mengacu pada tragedi berdarah pembantaian Sayyidina Husein dan keluarganya yang terjadi di Karbala atas perintah penguasa zalim zaman itu.

Pada bulan tersebut, umumnya masyarakat Jawa tidak akan mengadakan pesta tasyakuran dalam bentuk apapun, mulai dari mendirikan rumah, resepsi pernikahan, sunatan atupun hajatan sukacita lainnya.

Tradisi dan simbol semacam ini tak hanya dimaksudkan sebagai ungkapan duka, tapi juga menjadi instrumen pendidikan dalam membentuk kepribadian masyarakat yang ikhlas berkorban, setulus pengorbanan pemimpin pemuda surga Sayyidina Husein RA.

Jejak Asyura melimpah di negeri ini. Sejak masa lalu hingga kini, kuliner bubur suro masih marak mentradisi, tak lain sebagai cara bijak mengabarkan ulang kepahlawanan Sayidina Husein RA beserta keluarga dan sahabatnya dalam peristiwa Karbala.

Cara ini sengaja diabadikan sebagai ajakan untuk melawan lupa serta seruan belasungkawa pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW atas gugurnya Sayyidina Husein RA di Karbala.

Masyarakat Jawa pada bulan Muharam juga biasa menaburkan bunga di tiap perempatan jalan yang sering dilalu-lalangi masyarakat, sebagai pengingat bahwa dulu rombongan kafilah keluarga Nabi SAW yang terdiri dari perempuan dan anak-anak ditawan, diarak bersama penggalan kepala Sayyidina Husein RA dan 16 kepala lainya sejauh 1.200 km mulai Karbala, Kufah dan Damaskus Suriah.

Tradisi menebar bunga juga ditujukan agar malapetaka serupa tak terulang kembali dimasa-masa mendatang. Tentu yang utama dimaksud “musibah” di sini adalah, upaya penghancuran nilai-nilai kemanusian serta penipuan atas nama agama, dan juga atas nama rakyat biasa melalui propaganda dan dalil-dalil absurd yg ditafsir untuk menindas dan demi kepentingan kekuasaan semata.

Tidak hanya di Jawa, berbagai ungkapan duka di hari Asyura menjelma menjadi tradisi yang masih ditemukan di berbagai daerah di Nusantara.

Sebut saja misalnya Perayaan Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Pariaman Sumatra Barat. Ada juga di Painan, Padang, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil.
Dari batang pisang Tabot dibuat, dihiasi bunga-bunga beraneka warna, diarak ke pantai bersama ribuan orang sambil diiringi teriakan “Hayya Husein hayya Husein” (“Hidup Husein, hidup Husein”). 

Demikianlah prosesi tersebut diakhiri dengan pelarungan Tabot di laut lepas. Benda yang disebut tabot itulah perlambang keranda jenazah suci Sayyidina Husein RA.

Sayyidina Husein RA kala itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari Kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat Subuh, dia bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya.

Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati:

قال: أما بعد، فانسبوني فانظروا من أنا، ثم ارجعوا إلى أنفسكم وعاتبوها، فانظروا، هل يحل لكم قتلي وانتهاك حرمتي؟ ألست ابن بنت نبيكم ص وابن وصيه وابن عمه، وأول المؤمنين بالله والمصدق لرسوله بما جاء به من عند ربه! او ليس حمزة سيد الشهداء عم أبي! أوليس جعفر الشهيد الطيار ذو الجناحين عمى! [او لم يبلغكم قول مستفيض فيكم: إن رسول الله ص قال لي ولأخي: هذان سيدا شباب أهل الجنة!] فإن صدقتموني بما أقول- وهو الحق- فو الله ما تعمدت كذبا مذ علمت أن الله يمقت عليه أهله، ويضر به من اختلقه، وإن كذبتموني فإن فيكم من إن سألتموه عن ذلك أخبركم، سلوا جابر بن عبد الله الأنصاري، أو أبا سعيد الخدري، أو سهل بن سعد الساعدي، أو زيد بن أرقم، أو أنس بن مالك، يخبروكم أنهم سمعوا هذه المقاله من رسول الله ص لي ولأخي.أفما في هذا حاجز لكم عن سفك دمي!


“Lihat Nasabku, Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku? Bukankah aku ini Putra dari Anak Perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan Keponakan Nabimu, yang Pertama Kali Beriman kepada ajaran Nabimu?  Bukankah Hamzah, Pemuka para Syuhada, adalah Pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di Surga, itu Pamanku?  Tidakkah kalian mendengar kalimat yang mashur di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku:  “Keduanya adalah Pemuka dari Pemuda Ahli Surga”?
Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”

Kata-kata yang begitu eloknya itu direkam oleh Tarikh at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193).

Namun mereka telah tertutup hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidillah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali  itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah. 

Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi Saw.

Simak pula bagaimana Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayyidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (Asyura).

Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein.

Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. 

Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.

Ibn Katsir menulis: “Yang membunuh Sayyidina Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Sayyidina Husein kepada Khawali bin Yazid.” 
(Al-Bidayah, 8/204).

Anas melaporkan bahwa ketika kepala Sayyidina Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata:

“Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”

Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Sayyidina Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash. 

Pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, Imam Suyuthi mengatakan Dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan. 

Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).

Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya: ‘Mengapa engkau wahai Rasul?’
Rasulullah menjawab: “Saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein."

Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa Khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi Khalifah.

Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tau peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayyidina Husein kelak masih berharap mendapat Syafa'at datuknya Rasulullah di padang mahsyar?

Makanya Kenapa islam di Larang Mengadakan Pesta Atau Hajat di tanggal 10 Muharram, Karena pada Hari Tersebut Terbunuhnya Cucu Nabi Muhammad yaitu Sayyidina Husein.

Jadi Tanggal 10 Muharram adalah Hari Duka Semua Umat Islam seluruh Dunia. 

Peristiwa Asyura tak hanya menguras air mata, tapi juga membangkitkan semangat kepahlawanan, pengorbanan dan kesetiakawanan.

Dan tak dapat dipungkiri, bahkan bangsa kita pun pernah dipompa darahnya melalui kisah sejarah Asyura di Karbala. Yakni ketika semangat para pejuang menggelora saat para kesatria keluarga Nabi disebut namanya.

Sejarah mencatat, ambisi penjajah Belanda hampir pupus asa saat itu juga. Sekalipun bantuan tentara didatangkan dari berbagai kepulauan di luar Jawa. Salah satunya, saat perang Jawa, yaitu perang Diponegoro (1825-1830).

Kondisi tersebut sebagaimana tergambar dalam pidato Kyai Mojo (Muhammad al-Jawad) yang dikenal sebagai panglima perang Pangeran Diponegoro dalam kitab Babad Perang Dipanegoro, karya pujangga Yasadipura II, Surakarta, berikut ini:

"Wahai kalian kesatria Mataram, negara Jawa tersimpan sudah dalam cakrawala pemahaman kalian. Pada diri kalian tersimpan watak perilaku, kebijaksanaan Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan. Tertanam juga (pada diri kalian) keberanian Sayyidina Husein RA.
Ingatlah… pada saat Suro nanti, Belanda akan kita lenyapkan dari tanah Jawa, karena terdorong kekuatan para kesatria Muhammad yaitu, Ali, Hasan dan Husein.
Bertempurlah kalian dengan iringan takbir dan shalawat, jika kelak kalian gugur di medan laga ini, maka kalian akan tercatat syahid sebagaimana gugurnya para sahabat setia Sayyidina Husein RA di Nainawa (Karbala). Engkau yang bijak terlibat dalam peperangan ini, adalah orang yang pantas mendapat julukan Ali Basya (gelar kehormatan bagi para kesatria/bangsawan).”

Selain itu, peristiwa Asyura dan Sayyidina Husein RA juga dikenal dan telah tertanam sedemikian rupa di tengah para pejuang kita.

Presiden pertama RI Ir. Soekarno bahkan pernah berkata:

“Husein adalah panji berkibar yang diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, dimana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman.” (10 Hari Yang Menggetarkan Dunia: Ucapan dan Komentar Tokoh Dunia karya Saed Zomaezam)

Meski demikian, saat ini mungkin lebih banyak generasi muda bangsa kita yang tak lagi mengenal tragedi Asyura dan siapa tokoh penting di baliknya.

Namun patut disyukuri, bahwa nilai-nilai luhur, sekalipun berupa remahan, berupa pesan moral di balik kearifan leluhur dalam merawat ingatan dan melawan lupa Tragedi karbala, masih mewarnai sebagian jiwa anak bangsa.

Mereka mewarisi keberanian dan pengorbanan dari para leluhur mereka yang mengambil pelajaran dari Sayyidina Husein RA. Sementara sebagian dari kita mungkin perlu merefreshnya saja.

Membongkar ulang sejarahnya, tanpa perlu meributkan siapa yang akan melakukannya, apa agamanya dan apa mazhab atau aliran agamanya.

Terkait tragedi Karbala, siapapun boleh memperingatinya. Siapapun tak terlarang mengidolakan figurnya. Hal ini seperti disampaikan Antoine Bara, seorang cendekiawan, pemikir, dan tokoh terkemuka Kristen dalam bukunya yang berjudul Imam Hussein in Christian Ideology, yang menyatakan bahwa Imam Husein RA tidak khusus untuk Syiah atau khusus Muslim saja, tetapi milik seluruh dunia karena menurutnya beliau adalah "Hati Nurani Agama".

Sebagai bangsa Indonesia, kita patut bangga kepada para leluhur dan para pendahulu kita yang dengan caranya yang unik dan bijak telah memperkenalkan tragedi Asyura dan sosok Sayyidina Husein RA kepada generasi kita.

Terhadap warisan budaya yang tak ternilai harganya ini, atas semua karya yang sampai di tangan kita, dan usaha besar dalam membentuk kepribadian bangsa, tak terkecuali segala peninggalan, pusaka dan wasiat itulah, kita mesti tetap menjaganya agar tak terlupa.

Demi mewarisi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam peristiwa Karbala, kita dituntut cerdas dan cermat dalam melestarikan tradisi Asyura yang sarat makna. Inilah tugas generasi kita melawan lupa.

Wallahu A'lam.

Baca Juga:


Post a Comment (0)
Previous Post Next Post