Nahdlatul Ulama (NU) sejak berdiri tahun 1926 mempunyai komitmen yang sangat besar dalam membangun bangsa dan negara.
Kebangkitan ulama bukanlah sebatas mengaji semata, melainkan bangkit membangun kemaslahatan untuk masyarakat secara luas, sehingga tercipta negara yang damai, adil dan makmur.
Dalam sejarah NU berperan besar untuk Bangsa Indonesia tercinta ini.
Dan artikel ini adalah bukti penelusuran fakta-fakta kesejarahan yang membuktikan peran NU dalam menegakkan Pancasila.
Peran ini menjadi saksi sejarah tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini..
Sejarah NU Pertama, Rais Akbar NU Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari merestui lahirnya Pancasila.
Saat Tim 9 yang bertugas merumuskan Pancasila belum mendapatkan kata sepakat dalam rumusan Pancasila, datanglah utusan Tim 9 itu kepada Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Utusan tersebut khususnya meminta pendapat tentang kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang masih diperdebatkan.
Poin agama menjadi simpul atau garis besar persoalan yang diambil Soekarno yang akhirnya menyerahkan keputusan tersebut kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menilai dan mencermati serta memeriksa kebenaran (mentashih) apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.
Kemudian Tim 9 tersebut menuju Jombang untuk menemui KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya di Jombang, Kiai Wahid yang tidak lain adalah anak Kiai Hasyim sendiri melontarkan maksud kedatangan rombongan.
Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak langsung memberikan keputusan.
Prinsipnya, Kiai Hasyim Asy’ari memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua.
Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam ataupun belum.
Hingga akhirnya Kiai Hasyim Asy’ari melakukan tirakat. Di antara tirakat Kiai Hasyim ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau mengkhatamkan Al Qur’an dan membaca Al-Fatihah.
Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat "Iya kana’ budu waiya kanasta’in" Kiai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, Kiai Hasyim Asy’ari melakukan Shalat Istikharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, Rakaat kedua Beliau membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali.
Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Kiai Hasyim Asy’ari membaca ayat terkahir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali. Paginya, Kiai Hasyim Asy’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.
Sila-sila lain yang termaktub dalam sila ke-2 hingga sila ke-5 juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Atas ikhtiar lahir dan batin Kiai Hasyim Asy’ari tersebut, akhirnya rumusan Pancasila bisa diterima oleh semua pihak dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia hingga saat ini.
Kedua, Kiai Wahid Hasyim adalah Tokoh NU yang Ikut Menciptakan Pancasila.
Gus Dur pernah mengisahkan bahwa ayahandanya KH Wahid Hasyim masuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang ikut menyusun pondasi dasar negara.
Kiai Wahid Hasyim juga menjadi anggota Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin.
Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya.
Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam.
Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain.
Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktekan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara.
Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini.
Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia.
Menurut salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.
Ketiga, Rapat PBNU 20 Februari 1959 di Jakarta.
Dalam rapat ini ditegaskan bahwa PBNU menerima dengan tegas pada Pancasila dan UUD 1945. Keputusan ini di tengah kondisi Majlis Konstituante hasil Pemilu 1955 yang tak menemukan kata sepakat dalam persidangan mengenai dasar negara dan undang-undang dasar.
Dalam surat keputusan PBNU ditegaskan:
“NU berpendapat bahwa setiap perkembangan dan perubahan di bidang politik dan ketatanegaraan pada hakekatnya adalah daya upaya untuk menemukan jalan yang setepat-tepatnya atas dasar musyawarah guna memelihara keselamatan dan keutuhan negara dan bangsa, supaya tercapai masyarakat yang adil sentausa dan makmur di bawah naungan Rahmat dan Keridloan Allah. Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan adalah merupakan sendi utama bagi NU dalam turut serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi hajat dan kepentingan-kepentingan segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu dalam usaha mengatasi kesulitan-kesulitan bangsa dan negara, NU senantiasa menempuh jalan tengah selama tidak merugikan intipati ideologi dan keyakinan asasi yang dijunjung tinggi oleh NU.”
Ini salah satu point yang disuarakan NU dalam Majlis Konstituante. Saat itu, Kiai Wahab Chasbullah sebagai Panglima Tertinggi (Pangti) dan Kiai Masykur sebagai Komandan lapangan.
Sedangkan untuk melakukan eksekusi itu ditugaskan kiai yang lebih muda, yaitu KH. Saifuddin Zuhri yang selalu tampil memukau sebagai juru bicara NU dalam sidang-sidang.
Keempat, Muktamar ke-22 NU di Jakarta pada 13-18 Desember 1959.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kondisi masih belum stabil. Setelah Majlis Konstituante dibubarkan, diumumkan pula pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah utusan golongan dan daerah.
Juga dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Di tengah kondisi tidak stabil ini, maka Muktamar ke-22 NU di Jakarta pada 13-18 Desember 1959, PBNU meneguhkan kembali peran strategisnya dalam menegakkan Pancasila.
Dalam Muktamar ini, Kiai Wahab Chasbullah sebagai pemimpin tertinggi di NU kembali menegaskan sangat lantang:
“Adalah sangat bijaksana pendirian PJM Presiden ketika mengundang Dekrit kembali kepada UUD 1945, juga dinyatakan dengan tegas suatu pengumuman bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari UUD tersebut.
Piagam Jakarta sebagaimana saudara-saudara telah mengetahui adalah suatu Piagam yang telah ditandatangani oleh pemimpin kita yang pilihan 9 orang banyaknya, dan di antaranya adalah saudara kita yang kita muliakan dan telah mendahului kita ke alam baka, ialah saudara Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim, mudah-mudahan Allah swt memberikan rahmat yang seluas-luasnya kepadanya, Piagam Jakarta yang mengandung di dalamnya suatu perumusan. Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Maka kita berhadapan dengan pengumuman tersebut, berkenaan dengan Muktamar NU yang sedang kita langsungkan ini, adalah wajib bagi kita dengan sungguh-sungguh untuk menentukan cara, rencana dan usaha
dalam suatu perumusan yang terkandung dalam Piagam tersebut.”
Petikan kalimat Kiai Wahab inilah yang menjadikan Muktamar NU saat itu penuh tekad bulat menegakkan Pancasila dan NKRI.
Kelima, Munas NU dan Deklarasi Situbondo 1983.
Pada masa orde baru, asas tunggal Pancasila menjadi polemik nasional. Pro kontra terjadi tanpa kesudahan. Dari sini, NU berperan besar menegakkan kembali Pancasila sebagai dasar negara.
Lahirlah Deklarasi Situbondo tahun 1983 dalam Munas Alim Ulama’ NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo asuhan KH As’ad Syamsul Arifin.
Dalam Deklarasi Situbondo 1983 ini termasuk lima pokok utama hubungan Islam dan Pancasila.
Pertama: Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Kedua: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Ketiga: Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
Keempat: Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
Kelima: Sebagai konsekuensi dari sikap tersebut di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Deklarasi Situbondo disepakati tanggal 21 Desember 1983 di Sukorejo, tempat di mana Munas Alim Ulama NU diselenggarakan, dan merupakan hasil dari komisi II (Komisi Pemulihan Khittah NU 1926), sub tentang “Hubungan Pancasila dan Islam” yang diketuai oleh Gus Dur.
Keenam, Muktamar Situbondo 1984.
Muktamar ke-27 NU tahn 1984 di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo Jawa Timur mengukuhkan Deklarasi Situbondo sebagai keputusan resmi organisasi dalam forum tertinggi bernama Muktamar.
Dihadapan Presiden Suharto saat itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin sebagai tuan rumah menegaskan:
“NU berkeyakinan, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam, khususnya warga NU, merupakan pencerminan kalimat tauhid. Empat sila selanjutnya mengandung kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara dengan masyarakatnya yang aman sentosa, tentrem kertoraharjo, penuh takwa kepada Allah SWT.”
Dalam Muktamar 1984 tersebut, KH Achmad Siddiq terpilih sebagai Rais Aam NU dan KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.
Ketujuh, Istighatsah Kubro pada 1 Maret 1992.
Pada 1 Maret 1992, PBNU mengadakan Istighatsah Kubra dalam rangka puncak Harlah ke-66 NU untuk menunjukkan loyalitas NU pada Pancasila dan UUD 1945.
Saat itu, rezim Soeharto menyelewengkan makna demokrasi Pancasila untuk mendukung status quo, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara tegas menolaknya secara terbuka.
“Dengan menolak mendukung Soeharto secara terbuka, berarti kami menolak mendukung sistem pemerintahan yang tidak adil ini. Dengan mendukung UUD 1945 dan Pancasila, kami bisa berkata bahwa NU mencoba melancarkan transisi dari sistem sekarang yang didasarkan pada kronisme, dan kehancuran negara ini dalam jangka panjang, dan dirampoknya sumber-sumber daya nasional untuk dimanfaatkan segelintir orang,” kata Gus Dur saat itu.
Kesetiaan NU terhadap Pancasila dengan sendirinya tidak secara buta menutup kemungkinan Pancasila dan embel-embel yang dikaitkan dengan Pancasila untuk dikhianati.
Kesetiaan yang dilakukan NU bukan pada orang atau kekuasaan, tetapi lebih pada bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila.
Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur juga menegaskan:
“Tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya”.
Pernyataan Gus Dur tersebut, sungguh membuat batin bergetar. Artinya, menjaga Pancasila bukan semata-mata sebagai bentuk “kepatuhan” pada konstitusi, tetapi juga menjalankan amanah profetik melalui apa yang telah dilakukan oleh para kiai dan ulama. Bagi warga nahdliyin, syahadat konstitusi itu adalah Pancasila di dadaku.
Kedelapan, Muktamar Cipasung 1994 dan Tanggungjawab NU atas Pancasila.
Komitmen NU tak pernah surut untuk menjaga Pancasila. Saat sebagian masyarakat tetap ingin mengubah dasar negara saat itu, melalui Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M, NU mengeluarkan Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No. 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil Sidang Komisi Ahkam/Masail Diniyah, yang di antaranya terkait dengan pandangan dan tanggung jawab NU terhadap kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraannya.
Dalam keputusan tersebut, salah satu keputusannya sangat tegas.
“Kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kedaulatan, keadilan, persamaan dan musyawarah. Dengan demikian maka pemerintah (umara’) dan ulama’ sebagai pengemban amanat
kekhilafahan serta rakyat adalah satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut.”
kekhilafahan serta rakyat adalah satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut.”
Pernyataan tersebut wujud nyata komitmen dan kesetiaan NU dalam menegakkan Pancasila.
Kesembilan, Munas dan Konbes NU 2012 di Cirebon Jawa Barat.
Di tengah derasnya globalisasi dan liberalisasi politik yang ditandai dengan hilangnya rasa tanggung jawab sosial dan semangat pengabdian pada masyarakat, NU mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali kepada Khittah Indonesia 1945.
Ini dideklarasikan pada Munas dan Konbes NU 2012 di Pesantren KH Aqil Siraj (KHAS) Kempek Cirebon Jawa Barat. Dalam deklarasi Kempek itu, Pancasila ditegaskan dengan penuh perjuangan.
Khitah Indonesai 1945 merupakan keseluruhan cita-cita bangsa ini yang berproses sejak zaman Kebangkitan Nasional yang kemudia dirumuskan menjadi dasar Negara Pancasila, dicetuskan melalui Proklamasi Kemerdekaan, dirumuskan menjadi Pembukaan UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan menyeluruh.
Dengan demikian, Penyempurnaan UUD 1945 haruslah:
Pertama: dilaksanakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan.
Kedua: haruslah sesuai dengan Pancasila sebagai dasar dan Ideologi negara.
Ketiga: harus sesuai dengan semangat Proklamasi.
Keempat: haruslah sejalan dengan amanah Mukadimah UUD 1945.
Kelima: mempertimbangkan aspirasi, tatanilai dan tradisi bangsa ini.
Karena itu dalam konteks kembali ke Khittah Indonesia 1945 ini NU berusaha kembali menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara, barang siapa mengganggu atau menentangnya harus segera dicegah, karena ini musuh negara.”
Deklarasi Cirebon menjadi bukti nyata NU yang tak terbantahkan agar bangsa Indonesia kembali kepada ruh perjuangan yang digariskan para pendiri bangsa.
Demikian fakta sejarah NU dalam menegakkan Pancasila hingga saat ini. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan referensi dalam berbagai hal.
Wallahua'lam.
Baca Juga: