Dari wawancara dengan Bapak Adji Tjaroko, diperoleh keterangan dan sejarah singkat keberadaan lokasi yang disebut Candi, namun yang sebenarnya adalah Sanggar Meditasi yang dapat dibagi dalam tiga periode waktu sbb:
Pertama, keberadaan Sanggar Meditasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari tokoh historis yang merupakan kakek dari Bapak Adji Tjaroko yang bernama Ki Bagus Hadi Kusumo.
Sejak tahun 1917 beliau telah menyebarluaskan ajaran dan kawruh Jawa yang dinamakan Kawruh Naluri / KWN. Istilah ini sempat menerima labeling negatif dan dipersoalkan secara hukum oleh pihak-pihak tertentu di era Orde Baru pada tahun 1970-an sehingga menimbulkan traumatik komunitas pengguna istilah ini.
Komunitas yang dipimpin Ki Bagus Hadi Kusumo bukan bagian aliran agama baik Kristen, Islam, Hindu serta Budha. Ajaran ini merupakan bagian dari konsep Kejawen yang lahir dan dipercaya serta disebarluaskan melalui konsep hubungan “Guru Murid” sebagaimana lazimnya kawruh-kawruh Jawa yang berkembang di zamannya.
Ki Bagus Hadi Kusumo tidak hanya menyebarluaskan kepercayaannya sehingga memiliki ribuan pengikut, namun beliau juga terlibat dalam menentang arogansi pemerintahan Belanda di wilayah Gombong pada zamannya.
Menurut pemaparan Bpk Adji Tjaroko, pada tahun 1920-an Belanda menuntut pajak per kepala penduduk pribumi. Namun Ki Bagus Hadi Kusumo menentang dan melawan dengan menolak pembayaran pajak bahkan dengan berani mengatakan, “Ini bumi kami. Mestinya kamilah yang menarik pajak pada kalian yang pendatang!”.
Dalam usahanya menentang kebijakkan pemerintahan kolonial, beliau tidak pernah membawa pengikut atau mengerahkan kekuatan fisik namun melakukannya secara individual. Dikarenakan Ki Bagus Hadi Kusumo kerap melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kemarahan Belanda, maka beliau sering berurusan dengan polisi Belanda dan di penjara berulang kali.
Kedua, Setelah Ki Bagus Hadi Kusuwo wafat, maka Kawruh Naluri diteruskan oleh putranya yang bernama Nurhadi (ayah dari Bapak Adji Tjaroko). Melalui usaha Bapak Nurhadi dan pengikutnya, maka terbentuklah bangunan Sanggar Meditasi pada tahun 1959. Bentuk bangunan menyerupai candi dikarenakan ada sejumlah relief di sekeliling bangunan luar tersebut. Dibangun dengan batu gunung dan dibuat bertingkat menyerupai sejumlah candi di Jawa. Ruang dalam dibiarkan kosong sebagai ruang meditasi atau samadhi para pengikut ajaran ini.
Bapak Nurhadi adalah konseptor Sanggar Meditasi sementara pelaksanaan pembangunan di kerjakan oleh Seniman Indonesia Muda (logo dan nama pelaksana disematkan di bagian bawah tangga masuk Sanggar Meditasi).
Dalam perkembangannya, komunitas penganut kepercayaan kepada Tuhan namun di luar bentuk formal agama ini mendaftarkan kegiatannya dan di badan hukumkan dengan namaYayasan Setyaki (Setia Marang Kaki: Setia Pada Leluhur).
Pengaruh Kawruh Naluri yang diturunkan Ki Bagus Hadi Kusumo dan yang diteruskan oleh Bapak Nurhadi mengalami pasang surut. Khususnya pada sekitar thun 1965 di saat kondisi negara dan politik sedang mengalami turbulensi dan chaos dikarenakan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan reaksi tentara di bawah kepemimpinan Suharto yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan Sukarno.
“Seluruh anggota paguyuban dipaksa masuk agama tertentu baik dengan cara halus dan keras. Kebanyakan menyerah dan berpindah agama sehingga anggota menjadi menurun”, demikian kesaksian Bapak Adji Tjaroko.
Tahun 1980 bpk Nurhadi meninggal. Sepeninggal beliau, pengikutnya terbagi menjadi dua. Ada yang tetap setia di organisasi melalui Yayasan Setyaki namun sebagian lainnya memilih untuk menganut kepercayaan di luar organisasi sehingga mereka boleh dikatakan sebagai anggota non formal penganut kepercayaan.
Ketiga, pada tahun 1986 Bapak Adji Tjaroko mengundurkan diri dari PNS dan menekuni keyakinan yang dianut kakek dan ayahnya serta mulai belajar melalui para sepuh di Yayasan Setyaki. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sepeningal Bapak Nurhadi, komunitas penganut Kawruh Naluri ini terbagi menjadi dua yaitu anggota formal dan anggota non formal.
Anggota non formal banyak berinteraksi dan bertukar pikiran dengan Bapak Adji dan dikoordinir oleh Bapak Adji dalam memperjuangkan berbagai aktifitas dan kepentingannya. Berdasarkan UU no 23 Tahun 2006 dan PP no 37 Tahun 2007 (setiap paguyuban bisa menunjuk petugas perkawinan dan menerima SK dari Dep Kebudayaan/Kementerian Kebudayaan).
Maka apa tahun 2008 dibentuklah Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) dengan Bapak Adji Tjaroko sebagai Ketua Umum. Menurut kesaksian Bapak Adji, jumlah anggota saat ini sekitar 3000 dan semuanya berada di luar wilayah Gombong.
Makna dan Fungsionalitas Sanggar Meditasi
Bangunan sanggar dengan banyak ornamen tersebut (ikon Buta Kala, hewan, aktifitas manusia, pendopo, dll) tidak memiliki makna khusus yang disampaikan baik dalam bentuk lisan maupun tertulis oleh pembuatnya yaitu Bpk Nurhadi. Kalaupun ada sejumlah tafsir yang dilekatkan pada makna-makna simbolis Sanggar Meditasi tersebut, adalah hasil interpretasi pengikut di zaman modern yang sejaman dengan Bapak Adji Tjaroko.
Sanggar Meditasi tersebut sampai hari ini difungsikan saat ada sejumlah event penting seperti Suran dan aktifitas ritual seperti melaksanakan semedi di ruangan dalam dimana terletak tonggak kayu dengan lambang Im Yang (seperti dalam ajaran Taoisme) berbentuk bulat dengan warna hitam dan putih di ujung atap sebagai simbolisasi hitam dan putihnya kehidupan, sebagaimana interpretasi Bapak Adji Tjaroko.
Pada bulan November ini, Pemerintah Daerah memberikan Bantuan Sosial untuk komunitas budaya dan dimanfaatkan untuk renovasi sanggar dengan swadaya anggota dalam bentuk ekonomi dan tenaga serta konsumsi. Menutup percakapan kami, Bapak Adji mengatakan, “Penamaan sanggar tersebut lebih tepat disebut Sanggar Wonomarto”.
Memberi Ruang Pada Keragaman Kepercayaan
Dari deskripsi yang dipaparkan Bapak Adji Tjaroko mengenai sejarah bermulanya konsepsi Kejawen dengan nama Kawruh Naluri (KWN) yang digagas Ki Hadi Kusumo hingga mengerucut terbentuknya pusat komunitas dan peribadatan oleh Bapak Nurhadi dalam bentuk Sanggar Meditasi di Wonomarto, ada sejumlah catatan untuk kita renungkan bersama.
Pertama, eksistensi Kejawen atau Kebatinan serta Penganut Kepercayaan yang berada di luar definisi dan organisasi agama formal seperti Kristen, Islam, Hindu, Budha khususnya di wilayah, Gombong, Kebumen telah ada berdampingan dengan eksistensi agama-agama formal.
Sudah sepatutnya pemerintah daerah memberikan ruang kebebasan komunitas ini untuk mengekspresikan kepercayaannya dan terbebas dari segala intimidasi. Ruang kebebasan ini bukan saja didasarkan pada pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia belaka melainkan didasarkan pada eksistensi historis komunitas ini yang telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan secara formal pada Tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, bertolak dari falsafah Hanacaraka, sudah seharusnya semua umat beragama menghindari ekstremisitas dan fundamentalisme untuk berebut benar yang pada akhirnya akan menghasilkan kebinasaan dan kerugian di kedua belah pihak. Alm DR. Th Sumartana menuliskan, “Pembunuhan batin atau ‘theological killing’ sudah merupakan awal dari bentuk kekerasan yang menyebabkan orang bisa menghabiskan nyawa orang lain dengan alasa kebenaran. Dan di sinilah permulaan dari tragik itu itu dimulai.
Tragik semua bentuk ortodoksi yang ingin menggapai wujud absolutismenya, akan tetapi tidak mampu meraihnya. Lalu dilakukan dengan cara memaksa Senada dengan Th Sumartana, Bambang Noorsena menegaskan, “Bertengkar dan berebut misi yang diemban kedua abdi mengembalikan keris kepada yang berhak. Acap kali pertikaian agama terjadi, sebabnya orang gagal menempatkan diri pada tempat yang semestinya”.
Apa yang dialami komunitas Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) pimpinan Adji Tjaroko bisa menjadi cermin arogansi dan semangat absolutisme agama tertentu yang ingin meniadakan keragaman dengan pemaksaan di saat rezim Orde Baru berkuasa.
Ketiga, Paska kemerdekaan Indonesia, terjadi kekosongan spiritual yang luar biasa dalam batin manusia Indonesia. Kekosongan batin itu diisi dengan menjamurnya berbagai aliran kebatinan dan kejawen.
Rahmat Subagya mendeskripsikan perkembangan kebatinan sebagai berikut:
“Pada tahun 1951 Kementrian Agama R.I. menyusun ‘Daftar aliran-aliran kepercayaan, keyakinan dan kepercayaan di luar agama Islam, Kristen Protestant dan Katolik’.
Jumlahnya sebanyak 73. Kongres Kebatinan pada tahun 1959 dihadiri oleh wakil-wakil dari 142 organisasi kebatinan. Jumlah itu naik sampai tidak kurang dari 300 pada tahun 195.
Sudah banyak organisasi sudah dibubarkan atau dibekukan, sebuah survey di bawah pimpinan Drs Mahmud Usman pada tahun 1970, mendafatarkan hanya dalam kota-kota besar di Jawa, 151 airan.
Angka ini naik menurut berita Antara 11 April 1972, sampai 217 aliran dengan tingkat pusat dan 427 bertingkat cabang bersama 644. Diantaranya terdapat 149 di Jawa Tengah, 105 di Jawa Timur, 96 di Sumatra, 69 di Jawa Barat, 39 di daerah Istimewa Yogyakarta, 20 di Sulawesi dan seterusnya”.
Selanjutnya, eksistensi Kejawen atau Kebatinan merupakan tantangan bagi agama-agama formal untuk melakukan introspeksi dan pembaruan khususnya di bidang moralitas sebagaimana dikatakan Alm. DR. Harun Hadiwijono, “Orang mengalam, bahwa Revolusi Indonesia benar-benar adalah suatu revolusi yang multikompleks.
Terutama kemerosotan moral mengecewakan banyak orang. Agama yang ada, baik Islam maupun Kristen, Katholik dan lain-lainnya, tidak membuktikan menjadi suatu benteng kekuatan moral.
Oleh karena itu perkembangan aliran kebatinan yang luar biasa itu sebenarnya menjadi tantangan bagi semua agama yang ada, untuk mengoreksi diri sendiri, agar mereka dapat mengimbangi usaha aliran kebatinan dalam pembaharuan moral”
Indonesia adalah rumah bersama bagi semua agama dan kepercayaan. Agama-agama formal yang ada saat ini, Kristen, Islam, Hindu, Budha adalah agama-agama manca dan pendatang di tanah makmur dan penuh pesona.
Hendaklah sebagai agama-agama manca dan pendatang, kita saling memberikan ruang yang setara dan bukan saling meniadakan eksistensi masing-masing dengan alasan absolutisme kebenaran.
Bahkan sebelum agama-agama manca dan pendatang menancapkan pengaruhnya di Nusantara, telah berkembang kepercayaan-kepercayaan asli penduduk negeri.
Berpijak pada kekuatan dan kekayaan historis di atas, hendaklah semua penganut agama formal dan para penghayat kepercayaan, kebatinan, kejawen dll dapat hidup bersama dan berdampingan dengan mengaktualisasikan ajaran masing-masing dalam ranah kehidupan sosial sehingga memberikan manfaat bagi orang lain.
Wallahu A'lam.
Baca juga: