Tragedi Beutong Ateuh
Aceh, 23 Juli 1999.
Masyarakat Aceh memiliki masa masa kelam yang sangat mengerikan di periode 1989-2000. Saat itu, Aceh menjadi salah satu pusat DOM atau Daerah Operasi Militer dikarenakan adanya gerakan gerakan separatis yang muncul di daerah tersebut. Selain Aceh, Papua juga mengalami hal serupa.
Penjagaan Militer diperketat, pengawasan atas setiap perkumpulan organisasi dan masyarakat dibuat serba transparan terhadap pemerintah. Selalu ada kecurigaan bahwasanya ada para militan yg menyusup di setiap kegiatan masyarakat.
Salah satu yang dicurigai adalah sebuah Pondok Pesantren Babul Mukarramah di Desa Blang Meurandeh. Disana, ada seorang tokoh agama yang sangat disegani masyarakat Aceh yang bernama Teungku Bantaqiah.
Sebelum masuk ke bahasan tragedi yang dimaksud, kita akan mulai dengan mengenal siapa Teungku Bantaqiah dan apa sepak terjangnya sebelum tragedi pembantaian ini terjadi.
Nama Teungku Bantaqiah tidak asing lagi di telinga masyarakat Aceh orang orang yang ada dibalik DOM. Namanya pernah tersandung banyak kasus yang diduga merupakan cara aparat mengucilkan ia dan para pengikutnya agar tidak lagi tersebar.
Teungku Bantaqiah |
Hal ini wajar, mengingat santri Teungku Bantaqiah di pondok pesantren Babul Al Mukarromah berjumlah ratusan dan ia adalah salah satu tokoh yang sangat konsisten pada pemikirannya dan sulit dipojokkan.
Tercatat, Teungku Bantaqiah di tahun 1987 pernah membuat suatu gerakan yang disebut. Gerakan ini yang dipimpin oleh salah satu murid Bantaqiah bernama Iskandar turun ke jalan di bulan Ramadhan, 15 Mei 1987.
Mereka dengan pakaian serba putih turun ke jalan dengan mengacungkan senjata tajam, berupa tombak dan golok di daerah Meulaboh dan Sigli. Tujuan gerakan jubah putih adalah "Menegakkan Islam Sedunia".
Caranya dengan melakukan razia dan menutup warung yang masih buka di bulan Ramadhan dan rencana pembunuhan terhadap etnis Tionghoa di 2 daerah tersebut. Beruntung, sebelum jatuhnya korban jiwa aparat berhasil menekan mundur gerakan ini dengan menewaskan 1 orang dan 35 orang ditangkap.
Teungku Bantaqiah tidak hadir secara langsung pada kejadian tersebut sehingga ia tidak ditangkap. Kesaksian Iskandar sang panglima gerakan jubah putih, ia mengatakan bahwa rencana gerakan jubah putih tercetus di rumah Teungku Bantaqiah, sang guru dari Iskandar.
Sebelumnya, pada 7 Mei (seminggu sebelum kejadian jubah putih) Iskandar telah dilantik oleh Bantaqiah sebagai Panglima dengan gelar Teungku Raja Iskandar Moh dan di dalam rapat tersebut juga dibentuk 14 orang yang digelari "Tentara Kebenaran Islam".
Dihadapan Jaksa, Iskandar juga berkata: "kami mau membunuh pengkhianat pengkhianat Islam, kami mau mengajak orang orang masuk Islam. Jika ada yang menolak, orang itu harus dibunuh". Sebagaimana dilansir Harian Tempo, 5 September 1987.
Saat kejadian ini, status Teungku Bantaqiah masih tanda tanya dan dalam masa pencarian. Ajaran Teungku Bantaqiah sendiri sudah mendapat predikat sebagai ajaran sesat yang terlarang berdasarkan Kejaksaan Tinggi Aceh sejak 1984.
Walaupun demikian, banyak orang khususnya yang berada disekitar Bantaqiah berpendapat bahwa itu hanyalah cara aparat meredam semangat Bantaqiah karena sekalipun sudah dicap sesat, pengajian dan pondok pesantrennya justru semakin ramai dan santrinya terus bertambah.
Setelah berlalu isu ajaran sesat dan gerakan jubah putih, kembali Bantaqiah mendapat tekanan dari aparat. Pada 1993, Teungku Bantaqiah ditangkap dengan alasan kepemilikan kebun ganja yang diduga digunakan untuk menyokong Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yaitu sebutan resmi pemerintah kala itu untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Soal ini, Nursiah, sang istri Teungku Bantaqiah, membantahnya. Menurutnya, tuduhan itu tidak mendasar dan tanpa bukti.
Walaupun demikian, kasus kepemilikan kebun ganja dan sokongan terhadap GPK ini yang mengantarkan Teungku Bantaqiyah dijebloskan ke dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Ia divonis 20 tahun penjara karena kasus tersebut.
Gelombang reformasi yang terjadi di Indonesia beberapa tahun kemudian membuat rezim Soeharto dengan Orde Barunya runtuh oleh gerakan mahasiswa, tepatnya pada Mei 1998. Momen ini mengantarkan BJ Habibie sebagai pemegang puncak kekuasaan baru Indonesia.
Presiden Bj Habibie |
Pada masa Habibie, tahanan politik dan narapidana politik yang selama ini dijebloskan pemerintahan Orde Baru diberikan amnesti. Bantaqiyah merupakan salah seorang narapidana politik yang diampuni Presiden Habibie kala itu.
Sekembalinya ke kampung halaman di Beutong Ateuh di bulan Mei 1999, Teungku Bantaqiah menolak untuk mengajarkan ilmu agama lagi. Ia ingin "pensiun" mengajar ngaji. Namun warga sekitar yang sudah merindukan pengajaran darinya mendesak Bantaqiah untuk membuka majelis lagi.
Awalnya Bantaqiah menolak namun desakan warga akhirnya membuatnya luluh. Ia kembali mengajar membaca dan tafsir Quran serta membaca kitab kuning di sebuah balai di lingkungan pesantren Babul Mukarramah yg kini sudah berubah nama menjadi Babul Al Nurillah.
Pesantren Babul Al Nurillah |
Ditempat lain diwaktu yang berbeda, Komandan Korem (Danrem) Lilawangsa Kolonel Syafnil Armen mendapat informasi dari bawahannya. Sang bawahan menyebut, ada seorang ulama kenamaan dari Beutong Ateuh, Aceh Barat yang diduga memiliki benda-benda berbahaya (senjata api) yang ditanam disekitar kawasan pesantren. Diduga ada sekitar 300 senjata api yang dimiliki ulama tersebut dan digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan GAM, dan ulama yang dimaksud adalah Teungku Bantaqiah.
Mengantisipasi gelagat yang tidak dikehendaki dan ancaman gerakan pemberontak, Danrem segera bereaksi atas informasi tersebut. Ia mengirim perintah lewat telegram bertanggal 15 Juli 1999 kepada beberapa komandan batalyon.
Inti perintahnya: cari, temukan, dekati, dan tangkap tokoh gerakan pengacau keamanan dan simpatisannya, hidup atau mati.
Berdasarkan perintah Danrem tadi, dibentuklah pasukan gabungan beranggotakan 215 personel dibawah pimpinan Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono sebagai pengawas operasi.
Pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan gabungan berkekuatan 215 personel tadi tiba di Beutong Ateuh. Mereka mendirikan tenda-tenda persiapan untuk melakukan penyerbuan. Warga sekitar menyaksikan kedatangan pasukan dengan perasaan cemas dan was was.
Mereka tidak tahu mengapa tentara datang tiba-tiba dan dalam jumlah yang sangat banyak ke daerah mereka. Tapi pengalaman selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) telah mengasah insting mereka, bahwa sebentar lagi "sesuatu" akan terjadi.
Esoknya, Jumat, 23 Juli 1999, sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan bersenjata lengkap mulai memasuki pesantren Babul Mukarramah. Sebagian dari pasukan menutupi wajah dengan cat hitam dan hijau.
Di dalam kompleks pesantren, beberapa pasukan menekan para santri dengan meneriakkan nama Bantaqiah dengan hujatan dan cacian. Beberapa sumber mengatakan ada pembakaran yg dilakukan secara sengaja disekitar kawasan pesantren yang berupa bangunan semi permanen.
Bantaqiah dan ratusan santri yang tengah mengaji mendadak tegang mendengar keributan terebut. Tak lama kemudian, Bantaqiah bersama seorang muridnya keluar menemui pasukan tersebut.
Letkol Sudjono selaku pengawas operasi tersebut menemui Bantaqiah dan menyampaikan urusan mereka. Lalu Sudjono mengontak Heronimus lewat radio soal tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Heronimus tak kunjung menjawab pertanyaan itu hingga Sudjono pun meninggalkan lokasi.
Ketika Sudjono meninggalkan lokasi, Pasukan yang berada disana bertindak menggeledah isi pesantren dan dengan kasar memerintahkan semua santri laki-laki dewasa turun serta berkumpul di halaman pesantren dalam posisi jongkok sambil memperlihatkan KTP.
Mereka disuruh melucuti pakaian, kecuali celana dalam. Bersamaan dengan berlangsungnya penggeledahan tersebut, tim yang dipimpin Sudjono kembali lagi ke lokasi.
Laporan Pantau menyebut, Sudjono memaksa Bantaqiah menyerahkan semua bedil yang diduga ia simpan. Bantaqiah membantah, Ia merasa tak pernah memiliki sepucuk pun senjata api seperti yang dituduhkan. Namun Sudjono tak puas dengan pengakuan Bantaqiah dan tetap memaksa untuk mengaku.
Di tengah-tengah situasi yang kian panas dan tegang akibat kedua pihak yg saling bersikeras itu, Sudjono mempersoalkan sebuah antena radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Ia menyuruh Usman, salah satu putra Bantaqiah, untuk mencopotnya.
Usman lalu berjalan menuju rumah untuk mengambil peralatan agar lebih mudah membongkar antena. Namun sebelum ia mencapai rumahnya yang berjarak hanya 7 meter dari tempat berkumpul, seorang pasukan memukulnya dengan senjata api.
Menyaksikan putranya disakiti, Bantaqiah pun berusaha mendekati dan memeluknya. Bersamaan dengan mendekatnya Bantaqiah ke arah Usman, pasukan tiba tiba mengumandangkan aba-aba menembak.
Detik itu juga, Teungku Bantaqiah, ulama yang begitu dihormati di seantero Aceh Barat, jatuh tersungkur bersimbah darah pada tembakan ketiga. Ia tewas seketika di tempat.
Setelah sang pimpinan roboh, moncong senapan diarahkan kepada para santri yang tengah berjongkok. Pasukan kemudian mengeluarkan tembakan beruntun dan membabi buta kearah kumpulan santri tsb. Tak sampai satu menit, 34 santri menyusul sang guru, mereka tewas akibat timah panas aparat.
Mata terbelalak. Jeritan dimana mana. Satu persatu tubuh itu tersungkur dgn darah segar mengalir dari lubang lubanh peluru di tubuhnya. Beberapa santri lainnya terluka dan ada pula yang selamat namun didera ketakutan dan shock yang amat sangat melihat guru dan teman temannya dihabisi.
Setelah berondongan tembakan berulang-ulang itu, pasukan kemudian mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan. Dengan dalih membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka diangkut, bahkan santri yang sama sekali tidak terluka juga ikut dibawa.
Semuanya berjumlah 20 orang. Mereka dinaikkan ke truk untuk dibawa menuju Takengon. Hanya beberapa orang saja dari santri Bantaqiah yang sengaja ditinggalkan.
Di tengah perjalanan, tepatnya di kilometer tujuh, 23 santri itu diturunkan dan diperintahkan berjongkok persis pada bibir sebuah jurang. Bukan obat atau perawatan sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya, di sana justru mereka menemui ajal mereka.
20 orang santri itu dieksekusi langsung oleh aparat yg membawanya. Peluru peluru panas menembus tubuh para santri yang sudah terluka dan ketakutan itu hingga seluruhnya tewas tak bersisa.. Sementara penghuni santri yg tersisa mengira teman temannya mendapat perawatan medis disana.
Kasus pembantaian Bantaqiah dan santri-santrinya di Beutong Ateuh ini kemudian menjadi sorotan nasional, bahkan menjadi perhatian dunia. Apa yang dilakukan Sudjono dan anak buahnya termasuk kategori pelanggaran HAM berat.
Azhary Basar, anggota Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh Pemda Aceh, menyatakan telah terjadi "penembakan sepihak" dan tidak ada bukti "adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya." Sehingga bisa dikatakan pembantaian ini bukanlah wujud defensif petugas.
Salah satu orang yang paling getol mengadvokasi dan memberikan bantuan hukum kepada keluarga para korban adalah Munir Said Thalib, pendiri Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.
Munir Said Thalib |
Ia membela hak-hak mereka dan menyerukan agar kasus ini diselesaikan dengan cara seadil-adilnya. Munir juga berkali-kali mengunjungi Beutong Ateuh untuk bertemu dengan keluarga Bantaqiah dan para korban.
Pada akhirnya, seperti diungkap dalam The Practice of Torture in Aceh and Papua, 1998-2007 (2008), kasus ini diselesaikan lewat jalan yang sebenarnya sangat politis, yaitu melalui pengadilan koneksitas pada 2000.
Peradilan ini dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki Munir.
Data KontraS dan Koalisi NGO HAM Aceh, kasus itu mendapat sorotan serius dari negara. Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 88 Tahun 1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak kekerasan di Aceh (KIPTKA).
Diantara sekian daftar kejahatan tindak kekerasan di tanah Serambi Mekkah yang diatur pengusutannya oleh Keppres tersebut, kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah dan murid muridnya termasuk yang menjadi sorotan, hingga sejumlah pelaku diadili lewat Pengadilan Koneksitas.
Dalam persidangan, dari 25 terdakwa yang diajukan terdapat tiga perwira: Kapten Anton Yuliantoro, Letnan Dua Maychel Asmi, dan Letnan Dua Trijoko Adwiyono. Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil.
Sementara sang pengawas operasi tersebut, Letnan Kolonel Sudjono tak tersentuh sama sekali terhadap hukuman yang sebenarnya berada dibawah tanggungjawabnya.
Munir sendiri sejak awal menuntut agar diselesaikan melalui pengadilan HAM, karena pembantaian itu termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Baginya, persidangan koneksitas kasus Bantaqiah lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kompromi antara elit politik dan tentara.
Keputusan pengadilan tersebut juga sama sekali tidak memperhatikan penyelesaian hukum menyeluruh untuk menyelesaikan soal Aceh.
“Persidangan itu hanya untuk menunjukkan bahwa sudah ada persidangan, dan mengabaikan substansi dari tuntutan masyarakat Aceh yang menginginkan keadilan, bukan sekadar pengadilan." Kata Munir.
Kisah kedekatan Munir dan sumbangsihnya terhadap hak hak korban tragedi ini mendapat apresiasi besar oleh warga sekitar pesantren peninggalan Bantaqiah yang ia bela.
Saat Munir tewas akibat diracun, warga sepakat merubah nama mesjid yang biasa dipakai Munir untuk menginap selama di Beutong Ateuh untuk mencari data dan membantu korban menuntut haknya menjadi "Mesjid Munir"
Baca Juga:
Daftar Tempat Wisata di Yogyakarta di Setiap Kabupaten.