Tragedi Dan Misteri Lenyapnya Dukuh Legetang, Banjarnegara, Jawa Tengah dalam Satu Malam


kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung sedikitpun di dalam buku pelajaran semasa sekolah.


Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika di negeri ini pernah ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang bermaksiat, lalu berakhir terkubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak tersisa.


Satu desa ini, bersama seluruh penduduknya lenyap hanya dalam satu malam tertutup "puncak" gunung yang berada lumayan jauh dari lokasi desa itu. 


Dukuh Legetang, berada di daerah Banjarnegara, Jawa Tengah. Sebuah Dukuh (Desa) yang melegenda dan akan terus dikenang orang orang akan akhir kehidupan penduduknya yang sangat tragis.


Letusan Kawah Sileri pada Minggu 2 Juli 2017 adalah sebuah pengingat: bahwa Dataran Tinggi Dieng terkenal dengan panoramanya yang indah menyimpan potensi bahaya.


Sejarah mencatat, ancaman bencana nyata di balik kecantikan Telaga Warna, sunrise yang indah, bocah rambut gimbal, kelezatan carica dan kentangnya.


Dieng, dataran tertinggi kedua di dunia 2.000 meter di atas permukaan laut setelah Nepal. Berlokasi di sisi Barat Gunung Sindoro dan Sumbing. Selain kompleks volkano, dataran itu juga merupakan kawasan candi peninggalan Hindu.


Kawasan itu telah menjadi daya tersendiri setelah ditemukan pada 1814 oleh tentara Inggris. Kala itu, tentara Inggris tak sengaja menemukan reruntuhan candi di tengah danau.


Karena merupakan kawasan volkano, Dieng bak menyimpan 'bom waktu' yang sewaktu-waktu dapat meledak kapan saja. Tanah di kawasan itu labil.


Secara geologi Dieng merupakan sebuah kompleks gunung api tua yang berada di Jawa Tengah. Gunung api Dieng merupakan kompleks gunung api yang memiliki banyak kawah. Kawah-kawah itu kerap mengalami erupsi, yang biasanya diikuti dengan gempa.


Banyak insiden erupsi yang merenggut nyawa manusia. Peristiwa paling mengerikan terjadi pada 20 Februari 1979. Saat itu, salah satu kaldera Dieng, Kawah Sinila meletus melepaskan gas CO2. Hingga 149 orang tewas saat itu.


Baca Juga:

Tragedi Sinila, 20 Februari 1979. Neraka di Negeri Langit Dieng


Sebuah fenomena dan tragedi mengerikan yang membinasakan di tahun 1955. Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang sangat makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi kehidupan penduduk dukuh (desa) itu.


Penduduknya makmur dan kebanyakan adalah para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan sebagainya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang.


Misalnya, apabila di daerah lain tidak panen, atau mengalami gagal panen, persawahan di Legetang akan tetap panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain, dikarenakan lokasinya tepat di lereng gunung. Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan.


Masyarakat Dukuh Legetang umumnya (sebagaimana yang diceritakan oleh orang orang desa lain yang masih hidup sekarang) adalah ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam, mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah terjadi di dukuh ini.


Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Baru pada tengah malam hujan tersebut reda. 


Namun tiba tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya.


Namun malam itu tidak ada satu pun warga daerah sekitar dukuh tersebut yang berani keluar. Karena, selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin. Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu baru keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar tadi malam. Alhasil mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut.




Bukan saja tertimbun, tapi desa Legetang saat itu sudah berubah menjadi sebuah bukit baru, dengan mengubur seluruh bangunan dan semua yang ada di dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah menyerupai bukit.


Menyadari peristiwa itu, sontak masyarakat di sekitar Dukuh Legetang histeris. Kemudian banyak yang meneriakkan 'Legetang guntur!' untuk saling membagikan informasi ke desa desa tetangga. 


Situasi saat itu menjadi ramai dan membuat masyarakat berbondong-bondong untuk melihat lokasi Dukuh yang sudah berubah itu. Dari total 351 korban jiwa, terdapat 19 orang yang berasal dari luar Dukuh Legetang. Sementara itu, masih ada dua orang warga asli Legetang yang selamat dari bencana tersebut karena tidak berada di lokasi kejadian saat peristiwa itu terjadi.


Masyarakat di lain Desa sekitar terheran-heran. Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan merupakan dampak longsornya gunung. 


Apalagi, diantara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak terkena longsoran.


Jadi kesimpulan yang paling mungkin dan diyakini para penduduk sekitar, (walaupun memang sangat sulit untuk dibayangkan) adalah, potongan gunung itu ketika malam kejadian seakan terangkat / terbang dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Ucap salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. 


"Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamun-amun longsor jam tiga pagi,” katanya. 


Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamun-amun masih terus bergerak.


Lenyapnya Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung ke perbatasan kawasan pemukiman dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.


"Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh", kata Suhuri sembari menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudah diketahui 70 hari sebelum kejadian.


Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru menghubung hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat, katanya.


Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. "Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada" kenang Suhuri.


Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun. Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam.




"TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955".


Wallahu A'lam.


Baca Juga:

Kasus Perampokan Dan Pembunuhan Sadis Pulomas 2016

Tragedi Bunker Kaliadem, Yogyakarta 2006

Ryan "Sang Jagal Dari Jombang", The Smiling Serial Killer

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post