Jauh sebelum agama Hindu, Buddha, dan Islam masuk ke Nusantara, Masyarakat Suku Jawa sudah lebih dulu mempunyai aliran kepercayaan, yaitu "Kapitayan".
Aliran tersebut menamai sesembahannya "Sanghyang Taya" yang bermakna "Hampa atau kosong". Orang jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat "Tan Kena Kinaya Ngapa" yang artinya tidak bisa di apa-apakan keberadaannya.
Yang mana arti keseluruhannya tidak bisa di lihat, tidak bisa di sentuh, namun bisa di rasakan dan di yakini keberadaannya. Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang di sebut "Tu" atau "To", yang bermakna "Daya Gaib" yang bersifat Adikodrati.
Dalam Bahasa Jawa Kuno, kata "Taya" artinya kosong atau hampa. ini adalah istilah untuk mendefinisikan Tan Kena Kinaya Ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan. Ia ada tetapi tidak bisa diketahui dan disentuh keadaannya.
Pokok Ajaran Kapitayan yaitu "Hamemayu Hayuning Bawono" yang artinya "Menata Keindahan Dunia". Para leluhur terdahulu sudah sadar diri dengan Kepercayaannya. Jauh sebelum ajaran agama lain yang datang dari Timur Tengah, India, dan China hadir di Nusantara.
Keyakinan para leluhur terdahulu untuk di percayai dan dilakukan ajarannya. Bukan untuk menjadi bahan perdebatan agar terlihat eksistensinya, yang mana justru menjadi sumber pertikaian dan kehancuran.
Suku di Nusantara seperti Jawa, Sunda, Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo To Manurung-Ila Galilo, Dll, mempercayai keberadaan entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati.
Mereka tidak menyembah selain kepada "Sanghayang Widhi" / Tuhan Yang Satu (Tunggal). Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, mereka tetap menganggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan.
Aliran Kapitayan tidak memiliki Kitab Suci, tetapi mereka memiliki bahasa sandi yang diisaratkan dalam semua sendi kehidupan dengan kepakeman (aturan yang di jaga ketat).
Kesemuanya merupakan ajaran agar bisa membentuk laku utama, yaitu Tata Krama (laku hidup yang luhur), dan agar menjadi orang jawa yang hanjawani (membentuk akhlak terpuji).
Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun) dengan sikap lemah lemutnya menerima dengan baik ajaran agama lain yang datang ke Nusantara.
Sebab itulah banyak agama yang datang ke Nusantara memilih basis dakwahnya di Tanah jawa.
Sebelum Agama Islam masuk ke Nusantara, Agama Buddha dan Hindu lebih dulu mendakwahkan ajarannya. Agama Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, Penyembah Dewa Wisnu.
Namun karena terdapat ajaran bahwa Dewa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia, akhirnya ajaran tersebut habis tergusur dengan prinsip nurani Aliran Kapitayan yang menyakini bahwa Tuhan tidak sama dengan Makhluk. Lalu Hindu beralih keajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa berwujud sebagaimana manusia.
Dalam penyebaran Agama Islam, Walisanga banyak mengadopsi Ajaran Kapitayan. Selama ±850 Tahun, Islam tidak bisa masuk dalam kalangan pribumi yang mayoritas penganut Aliran Kapitayan.
Sebab, para Mubaligh Muslim Arab (yang belum paham ilmu tafsir dan takwil Alqur'an secara lengkap), menceritakan bahwa Allah duduk di atas singgasana bernama Arsy. Orang-orang pribumi yang memahami Kapitayan tidak bisa menerima logika tersebut, yang mana Tuhan duduk, dan menyerupai manusia.
Barulah pada zaman Walisanga, prinsip dasar Aliran Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah. Seperti contoh bahwa definisi Tuhan Sanghayang Taya yaitu "Tan Kena Kinaya Ngapa" yang memiliki arti sesuatu yang tidak bisa dilihat, dan tidak bisa diangan-angan seperti apapun keberadaannya, memiliki persamaan dengan Agama Islam dalam mendefinisikan Tuhannya Allah, yaitu "Laisa Kamitslihi Syai'un" yang juga memiliki makna tidak ada sesuatu yang menyamai, tidak bisa dilihat, dan diangan-angan keberadaannya.
Sesuai dengan maknanya berdasarkan Alqur'an Surah Asy-Syura' Ayat 11. Ayat tersebut juga banyak digunakan dalil penguat dari sifat wajib Allah yaitu Mukhalafatul Lil Hawaditsi (berbeda dengan makhluk).
Seperti hal-nya filosofi dari Ajaran Kapitayan yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi", yang dalam bahasa jawa kuno, "sangkan" berarti asal muasal, "paran" adalah tujuan, dan "dumadi adalah menjadi.
Seperti hal-nya filosofi dari Ajaran Kapitayan yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi", yang dalam bahasa jawa kuno, "sangkan" berarti asal muasal, "paran" adalah tujuan, dan "dumadi adalah menjadi.
Dengan demikian makna yang terkandung dalam Kalimat "Sangkan Paraning Sumadi" adalah, "Dari mana manusia berasal, dan akan kemana manusia akan kembali".
Filosofi tersebut selaras dengan kalimat Alqur'an Surah Al-Baqarah ayat 156 yang berbunyi: "Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un" yang mana artinya: "Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepadaNya lah kami kembali".
Walisanga juga menggunakan istilah-istilah dalam Ajaran Kapitayan. Seperti pemakaian kata "Sembahyang" dan tidak menggunakan istilah kata Shalat. Sembahyang yang berarti Sembah "Hyang" atau menyembah Tuhan.
Tempat peribadahan pun bukan memakai kata "Masjid", melainkan menggunakan istilah "Sanggar" dengan bentuk bangunan Seperti Sanggar Aliran Kapitayan, yang kemudian hari menjadi langgar-langgar (masjid) di desa-desa yang ada mihrab dan dilengkapi dengan bedugnya.
Adapun tentang ajaran ibadah tidak makan dan tidak minum dari pagi sampai sore tidak diistilahkan dengan kata "Shaum", melainkan menggunakan istilah "Upawasa" yang kemudian menjadi "Puasa".
Orang-orang dahulu apabila ingin masuk Agama Islam mengucapkan Syahadat, kemudian selamatan pakai tumpeng.
Maka sukseslah para Walisanga menyebarkan Agama Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Selain dengan metode dakwah yang matang, Walisanga juga banyak mengadopsi adat dan kebudayaan orang-orang jawa terdahulu.
Seperti hal-nya wayangan, kondangan/selamatan, dan juga tradisi-tradisi lainnya untuk disisipi dengan ajaran-ajaran Agama Islam didalamnya, diantaranya seperti:
1. Suran (Tahun Baru 1 Sura)
1. Suran (Tahun Baru 1 Sura)
2. Sepasaran (Upacara kelahiran/ Akikah)
4. Mangkat (kirim do'a 7 hari, 40, 100 إلØ)
5. Megengan pasan (Tgl 28-28 kirim do'a leluhur)
6. Megengan syawal (Tgl 29-30 Kirim doa leluhur)
7. Riadi Kupat (hari raya kupat tgl 3,4,5 bulan syawal)
Dengan demikian, masyarakat jawa dengan Aliran Kapitayan lambat laut tertarik dengan Agama Islam yang dibawa oleh Walisanga, hingga bersedia masuk Islam dengan suka rela.
Dengan tercampurnya metode dakwah Islam para Walisanga dengan adat dan budaya lokal, Maka sesudahnya ada dua jenis islam, yaitu Islam Abangan/ Kejawen (yang mencampurkan metode dakwah dengan adat budaya lokal) dan Islam Putihan (tanpa melalui metode dakwah dengan adat budaya lokal).
Untuk Kejawen memiliki banyak karya tulis, diantaranya:
Wallahu A'lam
Untuk Kejawen memiliki banyak karya tulis, diantaranya:
- Kakawin (Sastra kawi) -Kitab sastra metrum kuno (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisab perjalanan yang berisi 5 kitab, ditulis menggunakan aksara jawa kuno dan bahasa jawa kuno.
- Macapat (Sastra Carakan) - kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kitab perjalanan yang berisi lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan aksara jawa dan bahasa jawa, beberapa tulisan menggunakan huruf pegon.
- Babad (sejarah) - kitab yang menceritakan sejarag Nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab. ditulis menggunakan aksara jawa kuno dan bahasa jawa.
- Suluk (jalan spiritual) - kitab tata cara menempuh jalan spiritual untuk membentuk pribadi luhur, hingga mencapai tingkat kesempurnaan dan mendapatkan ilmu supranatural, kitab tersebut berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan aksara jawa, bahasa jawa, dan huruf pegon. suluk juga jenis sastra yang ditembangkan.
- Kidung (Doa-doa) - sekumpulan doa-doa atau mantra-mantra yang di baca dan ditujukan kepada Tuhan bagi pemeluknya masing-masing, kitab tersebut berjumlah 7 kitab. Di tuling menggunakan aksara jawa dan bahasa jawa.
- Piwulang (pengajaran) - secara bahasa berarti yang diulang-ulang, berupa kitab yang mengajarkan tetanan, terdiri dari pituduh (perintah) dan Wewaler (larangan). ditulis menggunakan aksara jawa dan bahasa jawa.
- Primbon (Himpunan) - secara bahasa berarti "Induk"/ "Kumpulan"/ "Rangkuman". Berupa kitab praktik praktis dalam pelaksanaan tatanan adat sepanjang waktu, juga untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi suatu kejadian. ditulis menggunakan aksara jawa dan bahasa jawa.
Naskah-naskah di atas mencakup seluruh kehidupan Orang Jawa, dari kelahiran sampai kematian, dan masih ada ribuan naskah-naskah lainnya selain kitab utama di atas yang berupa dalam bentuk karya tulis. Biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.
Demikian pembahasan mengenai Ajaran Kapitayan dan sejarah perkembangan Agama di Nusantara. Walaupun sudah dibuat seakurat mungkin, namun tetap ada potensi salah informasi. Maka tidak mesti dijadikan acuan kebenaran, Cukup sekian Terima Kasih.
Wallahu A'lam
Baca Juga: